Perlukah Analisis Sosial (ANSOS)?
Disekitar kita banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial,
seringkali ketika berhadapan dengan berbagai masalah sosial kita sulit untuk
mengurai latar belakang masalah, pengaruh kepentingan serta implikasi logis
yang mungkin muncul. Kesulitan memahami kaitan masalah sosial disebabkan karena
keterbatasan kemampuan dalam memetakan variable yang saling mempengaruhi. Untuk
itu, diperlukan kecerdasan dalam melakukan analisis sosial agar mampu membaca
dan memahami realitas sosial secara utuh.
Organisasi mahasiswa, adalah bagian dari kehidupan sosial,
senantiasa bersinggungan dengan realitas sosial, atau salah dalam memahaminya,
maka perubahan sosial yang dilakukan tidak akan efektif, bahkan jauh dari
sasaran.
Pengertian ANSOS
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan
atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh
gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan
histories, structural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari
struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek
politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi
perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah
sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial
Ruang lingkup ANSOS
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam
konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus
relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan
visi atau misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis
antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran,
pengangguran, kriminilitas
Sistem sosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem
pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga
pedesaan.
Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan
sebuah UU dan lain-lain.
Pentingnya Teori Sosial
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan
refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis
melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat,
untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia
yang ditempatkan dalam realitas empiris.
Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic
Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan
teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia
tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara
filosofis terdapat dua macam analisis sosial, pertama, analisis intitusional,
yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan
institusi sebagai sumber daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua,
analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi
sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
Langkah-Langkah ANSOS
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:
a.
Memilih
dan menentukan objek analisis
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan
rasional dalam arti realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki
signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.
b.
Pengumpulan
data atau informasi penunjang
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung
dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui
dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung dilapangan.
Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
c.
Identifikasi
dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah
dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik,
ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara
komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling
keterkaitan antara aspek.
d.
Mengembangkan
presepsi
Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau
terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai
cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan
implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa
alternative sebagai kerangka tindak lanjut.
e.
Menarik
simpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah,
pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat
yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan
yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
Peranan ANSOS Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya
PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis),
sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif).
Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader
PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis
akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas
sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak
diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan
PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif
apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).
REKAYASA SOSIAL
Prolog: Sebuah kasus awal
Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil pinggiran
hutan di Kalimantan adalah komunitas
adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan,
pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi
sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program
transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya,
daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas
adat, tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat dengan
persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk
kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya
televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang
terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi)
masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi,
berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan
jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat
kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang
menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga
memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing
keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.
Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya dalam
struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah
Ignas Kleden menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme)
dan tingkah laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh
hadirnya sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai
kebersamaan beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat
pragmatisme dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah
misalnya ketika memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang
lebih dimaknai bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat
mati-matian membela tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis
untuk dijual kepada pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel,
villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat
terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat tersebut sudah berubah citranya
secara fundamental sebagai masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi
masyarakat ’pinggiran’ berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada.
Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata
tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’
dalam perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan?
Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian
tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta
terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat
tersebut dapat direncanakan?
Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu preskripsi
bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu masyarakat,
seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan sosial tersebut
dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam masyarakat yang berada
dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay berkelindan berbagai perubahan.
Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril dari perubahan sosial. Justru
perubahan sosial memberikan suatu bukti terjadinya dinamika di dalam masyarakat
tersebut. Tanpa perubahan sosial, masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
’mati’, stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan
sosial yang tidak terencana (unplanned social change). Perubahan social yang
terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang
biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di
atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang tidak disadari dengan
hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua, perubahan social
yang terencana (planned social change); yakni sebuah perubahan social yang
didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya. Nah, dalam kasus perubahan
social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi akibat sebuah desain matang
(rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui proyek modernisasi yang
berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme).
Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social
adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem
sosial. Sementara Suparlan[4]menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan
dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup;
sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan
kekuatan, serta persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting
perubahan sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2)
proses perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan.
Menurut Jalaluddin Rahmat, ada beberapa penyebab terjadinya
perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubaha karena ideas; pandangan hidup,
pandangan dunia dan nilai-nilai.
Max Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas
merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan
dalam menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik
protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber
bahwa ideologi ternyata berpengaruh bagi
perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam
masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great individuals)
yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan (3) perubahan sosial
bisa terjadi karena munculnya social movement(gerakan sosial). Yakni sebuah
gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh LSM/NGO, yayasan,
organisasi sosial, dsb serta lebih lanjut Kang Jalal menyebut bahwa dalam
perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang selayaknya dilakukan melalui
berbagai cara, tergantung analisis situasi atas problem sosial yang ada.
(1) strategi normative-reeducative (normatif-reedukatif).
Normativeadalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang
berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education,
sehingga strategi normatif digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan
ulan) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan
yang baru. Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan
sekedar mengubah perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan
nilai sasaran perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi
perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat
yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan
adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau
hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s power.
Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk perubahan
sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan mengudang
gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
Rekayasa sosial: gagasan konseptual
Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak dapat dicegah
sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun tidak
direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan
perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah
populernya adalah rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial (social engineering)"
seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk
perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa
sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya
mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan
tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan
demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya
perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa sosial
(social engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip
berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu
dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk
struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir
dari individu dan komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the
lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan
dan penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation)
dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi dalam
konsep dan metode pembelajaran primer.
Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial Menuju Aksi Sosial
Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada
masyarakat yang didalamnya terdapat
sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut memberikan dampak
bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada problem sosial, tidak akan ada orang
berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial menjadi
faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan rekayasa sosial.
Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan antara
apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi yang
sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar arus
lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar. Semua
pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada atau
tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas
terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan
antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem
sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario
(strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety reading.
Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas
situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa
jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami
kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di
tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem
sosial akan berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya.
Tanpa pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa
sosial untuk menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang
munculnya problem sosial baru. Dalam melakukan pemecahan atas problem sosial
ada kalanya memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni tindakan kolektif
(bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan sosial bisa
digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.
Philip Kotler memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi
sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab),
yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat
memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan),
yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target
(sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai
sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan
pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change
strategy(strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan
oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal
lazim yang marak digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah
melakukan analisis situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght
(kekuatan), Weakness (kelemahan), Oppurtunity(peluang) dan Treath (ancaman).
Analisis ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi
kita dalam melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat
menentukan bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun
demikian, ada berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung
dari- gaya dan prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus
masyarakat yang akan dirancang perubahan sosialnya.
Epilog
bahwa dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai
bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir
(fallacy). Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat
yang hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya
berbagai bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial.
Misalnya, fallacy of dramatic instance(kecenderungan untuk melakukan over
generalisasi), fallacy of Retrospektif Determinisme(kecenderungan yang
menganggap bahwa masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara
historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari
sejarah yang cukup panjang), argumentum ad populum (kecenderungan untuk
menganggap bahwa pendapat kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal
dari pihak luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat
yang hendak dirancang perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari
kelompok kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan
keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya
problem sosial.
0 Response to "Analisis Sosial Menuju Aksi Sosial"
Post a Comment