Judul : Ideologi
Kaum Intelektual “Suatu Wawasan Islam”
Pengarang : Ali
Syar’iati
Penerbit : Mizan
Cetakan : ke-V
Jumlah Hal : 185
Ali Syariati adalah salah satu tokoh islam kontemporer yang muncul
di Era pra Revolusi Iran. Dalam karirnya, beliau selain sebagai kaum agamawan, juga
sebagai dosen perguruan tinggi di salah satu univ di Iran. Sebagai dosen,
beliau dianggap sebagai tokoh Revolusioner dengan kritik yang kerap
ternyiang-nyiang dalam nalar mahasiswa kala itu adalah sebuah anekdot “Jika
kaum Mahasiswa/ kaum muda tidak memiliki jiwa revolusi maka tidak ada bedanya
mereka itu sedang di mesjid dan di BAR/ Diskotik”. Hal ini menunjukan
betapa kritisnya beliau pada masa itu. Dalam memobilisasi massa dengan gerakan
perlawanan itulah cikal bakal terjadinya revolusi Iran.
Julukan Ulil Absor yang disematkan masyarakat kepada Ali
Syari’ati karena beliau fokus bicara kajian-kajian dan gerakan-gerakan revolusi
sosialis. Kritik yang kerap dibangun itu kemudian beliau tuangkan dalam salah
satu bukunya“ Ideologi Kaum Intelektual, (Suatu Wawasan Islam)”
Kebudayaan dan ideologi
Kebudayaan adalah sifat
bawaan suatu masyarakat yang menjadi sumber daya material atau aktiva
modal yang melekat pada masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah esensi
kemasyarakatan maupun spiritual dari ras atau
bangsa teertentu. Dengan kata lain, kebudayaan sebagai manifestasi
bawaan, adalah manifestasi etnis suatu
masyarakat. (Aime Cesaire dlm ali syari’ati :47)
Ali Syari’ati mengisahkan orang-orag yang bukan ilmuwan, bukan
filosof, bukan bukan teknolog tetapi mampu menangkap kesadaran diri manusiawi.
Dan bagi kita sebagai pengemban amamah zaman, jadikan sejarah sebagai hikmah
yang sanggup membentuk kebudayaan dan peradaban itulah mereka yang memiliki
kapasitas ideologi (intelektual).
Ideologi dan kaum intelektual,
Menegaskan kembali peran agama sebagai ideologi yakni keyakinan
yang dipilih secara sadar untuk memberikan respon terhadap kebutuhan dan
masyalah masyarakat yang terjadi.
Agama sebagai idelogi bukanlah agama yang mempertahankan dan
melegitimasikan status quo tetapi yang memberikan arah kepada bangsa
untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Agama sebagai ideologi juga menegasikan
akan pentingnya kaum intelektual muslim untuk bagaimana membangun relasi dengan
massa kemudian melawan kaum reaksioner, korup atas pengejawantahan bahwa agama
islam adalah agama jihad.
Dalam Islam menurut ali, seorang intelektual tidak hanya memahami
sejarah bangsanya dan melahirkan gagasan-gagasan baru. Lebih dari itu adalah
harus menjadi Ulil Albab, (16 kali disebut dalam alquran) ialah orang
yang diberi hikmah (bijaksanaan) kritis, sungguh-sungguh mencari ilmu, bertekad
bulat menegakkan ajaran islam. Kritis idelogi kaum intelektual itu dibangun
karena kondisi iran kala itu para pemerintah hanya menjadikan agama sebagai
alat untuk kepentingan segelintir kelompok. Selanjutnya Ali syariati menyebut Orang-orang
yang menyalagunakan amanah agama itu ibarat Pelanjut Qobil. Sebagai pelanjut
Qobil, Ali Syari’ati menyebut empat manusia yang dilambangkan dalam alquran
dengan fir’aun, haman, qorun, dan bal’am.
Fir’aun adalah
penguasa yang korup, penguasa yang selalu merasa benar sendiri, tonggak sistem
kedzaliman dan kemusrikan. Haman adalah kelompok teknokrat, ilmuwan yang
menunjang tirani dan melacurkan ilmu. Qorun adalah cerminan kaum
kapitalis, pemilik sumber kekayaan yang dengan rakus menghisap seluruh kekayaan
masyarakatnya. Sedangkan Bal’am melambangkan kaum ruhaniyun, tokoh-tokoh
agama yang menggunakan agama sebagai legitimasi kekusaan yang korup dan
meninabobokan masyarakat.
Sebagai idelogi kaum intelektual pula, Ali Syariati menagaskan
agama islam adalah suatu idelogi yang diakui secara sadar untuk memberikan respon
terhadap segala bentuk diskiminatif, eksploitatif, ketidak adilan, ketidak
setaraan dan lain-lain. Karena nilai-nilai itulah yang sesungguhnya
diperjuangkan para Nabi dan Rasul. Dengan dasar nilai-nilai itu Ali Syari’ati
kemudian memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa yang menjadi pewaris Nabi dan
Rasul sesungguhnya adalah Kaum intelektual, ”Rausyan fikr”. Rausyan
fikr adalah “pemikir yang tercerahkan” (persia).
Rausyan fikr berbeda dengan
ilmuwan. Ilmuwan menemukan kenyataan, Rousyan fikr menemukan kebenaran. Ilmuwan
menampilkan fakta sebagaimana mestinya, Rausyan fikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya.
Rausyan fikr bukanlah kaum
intelektual sarjana yang hanya menunjukan kelompok atau orang yang sudah
melewati pendidikan tinggi, mendapat gelar sarjana dan lain-lain, tetapi mereka
adalah kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya,
mengelola aspirasi masyarakat, menawarkan strategi pembangunan bagi masyaakat
dan mampu menyelesaikan berbagai masalah diengah-tengah masyarakat. ( Tegas Jalaludin
Rahmat dlm pengantar Ali Syari’ati).
Menurut Burn (dlm Ali’Syariati) Orang intelektual ialah a
devotee of ideas, knowledge, values (ialah orang yang terlibat secara
kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi suatu kebutuhan).
Peradaban dan modernisasi
Ali Syari’ati mencoba menegaskan identitas lokalitas dengan
mengkritik orang-orang yang meniru kebudayaan barat tanpa kemampuan kritis sehingga menjadi
budak-budak konsumsi dari industri eropa, manusia-manusia yang kehilangan latar
belakang, terasing dari sejarah dan agamanya, asing terhadap apa yang dibangun
oleh bangsanya, sejarahnya, dan nenek moyangnya. Lebih dari itu, menjadi budak
konsumsi perlahan kemudian meleburkan paradigma berfikir lokal.
Tentang Nestapa Kaum Tertindas.
Ali Syari’ati menempatkan dirinya sebagai seorang pelakon dalam sejarah perlawanan umat
tertindas.
Dari simpulan diatas, saya coba mengambil benang merah dari pembahasan
ini sebagai tugas generasi muda, marilah menjadi individu masyarakat yang anti penindasan
dan penuh kedzoliman dengan membentuk umat yang berdasarkan hakikat nilai ketauhidan
dan keadilan. Itulah tugas para rasul kala itu dan sekarang giliran kita.
0 Response to "Resensi Buku Ideologi Kaum Intelektual "Suatu Wawasan Islam" || Ali Syar'ati"
Post a Comment