Kasihan umat diberikan pemahaman yang keliru hanya berdasarkan pandangan agama yang sempit.
Pertimbangan masjid dan tempat ibadah lain ditutup selama pandemi atau wabah itu jelas ada dasar keilmuannya. Bukan hanya pertimbangan agama, namun juga kesehatan.
Di masa Nabi ada 2 Sahabat yang mengalami penyakit menular tapi tidak sampai menularkan kepada yang lain:
ﻟﻢ ﻳﺒﺘﻞ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وسلم ﺇﻻ ﺭﺟﻠﻴﻦ ﻣﻌﻴﻘﻴﺐ ﻛﺎﻥ ﺑﻪ ﻫﺬا اﻟﺪاء اﻟﺠﺬاﻡ ﻭﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺿﺢ
"Tidak ada satupun dari Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diuji kecuali 2 laki-laki. Muaiqib diuji dengan kusta dan Anas bin Malik diuji dengan belang-belang" (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq 9/375)
Penyakit tersebut menular tetapi belum ditemukan riwayat siapa sahabat lain yang tertular. Mengapa? Secara medis penyakit kusta ini penularannya sangat lambat. Meski lambat ternyata adalah keberhasilan Nabi dalam memerintah untuk mengantisipasi menjaga jarak. Seperti dalam banyak hadis Sahih:
فر من المجذوم فرارك من الاسد
"Larilah dari orang yang terkena penyakit kusta seperti engkau lari dari harimau" (HR Bukhari)
Jika kusta yang penularannya lambat saja diperintah oleh Nabi untuk menjauh, lalu bagaimana dengan penyakit yang penularannya lebih cepat? Apalagi terkadang orang yang membawa virus tersebut terlihat sehat dan tidak sakit namun menularkan kepada orang yang kondisi tubuhnya sudah tidak sehat.
Karna itu, himbauan sholat berjama'ah di masjid itu dilarang Pemerintah agar penyebaran virus ini tidak meluas. Jangankan masjid, Ka'bah saja terpaksa ditutup oleh Pemerintah Arab karna menghindari jatuhnya korban. Lah, kenapa kita yang di masjid ngeyel?
Dalam sejarah Islam, ada beberapa peristiwa wabah yang memaksa tempat-tempat ibadah seperti Masjid dan ka'bah ditutup selama wabah berlangsung. Mau tau?
1). Makkah
ﻭﻓﻲ ﺃﻭاﺋﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻗﻊ ﺑﻤﻜﺔ ﻭﺑﺎء ﻋﻈﻴﻢ ﺑﺤﻴﺚ ﻣﺎﺕ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺃﺭﺑﻌﻮﻥ ﻧﻔﺴﺎً، ﻭﺣﺼﺮ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻓﻲ ﺭﺑﻴﻊ اﻷﻭﻝ ﺃﻟﻔﺎً ﻭﺳﺒﻌﻤﺎﺋﺔ، ﻭﻳﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﺇﻣﺎﻡ اﻟﻤﻘﺎﻡ ﻟﻢ ﻳﺼﻞ ﻣﻌﻪ ﻓﻲ ﺗﻠﻚ اﻷﻳﺎﻡ ﺇﻻ ﺇﺛﻨﻴﻦ ﻭﺑﻘﻴﺔ اﻷﺋﻤﺔ ﺑﻄﻠﻮا ﻟﻌﺪﻡ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﻣﻌﻬﻢ
"Di tahun tersebut terjadi wabah penyakit besar, dalam sehari 40 orang wafat. Di bulan Rabiul Awal mencapai 1700 korban jiwa. Dikatakan bahwa Imam di Masjidil Haram tidak melakukan shalat di tempat tersebut kecuali 2 orang. Para Imam membatalkan karena tidak ada yang shalat dengan mereka" (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Inba' Al-Ghumr 3/326)
2). Mesir
ﻭﻏﻠﻘﺖ ﺃَﻛﺜﺮ اﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪ ﻭاﻟﺰﻭاﻳﺎ. ﻭَاﺳْﺘﻘﺮ ﺃَﻧﻪ ﻣَﺎ ﻭﻟﺪ ﺃﺣﺪ ﻓِﻲ ﻫَﺬَا اﻟﻮﺑﺎء ﺇِﻻَّ ﻭَﻣَﺎﺕ ﺑﻌﺪ ﻳَﻮْﻡ ﺃَﻭ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﻭَﻟَﺤِﻘﺘﻪُ ﺃﻣﻪ
"Kebanyakan masjid dan lembaga pendidikan ditutup. Hal ini tetap berlanjut sampai jika ada anak yang lahir di masa wabah penyakit tersebut maka akan mati setelah 1 atau 2 hari, kemudian disusul oleh ibunya" (Al-Maqrizi, As-Suluk Li Ma'rifati Duwal Al-Muluk 2/157)
ﻭﺻﺎﺭ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﺫا ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺑﻴﺘﻪ ﻻ ﻳﺮﻯ ﺇﻻ ﺟﻨﺎﺯﺓ ﺃﻭ ﻣﺮﻳﻀﺎ ﺃﻭ ﻣﺸﺘﻐﻼ ﺑﺘﺠﻬﻴﺰ ﻣﻴﺖ ﻭﻻ ﻳﺴﻤﻊ ﺇﻻ ﻧﺎﺋﺤﺔ ﺃﻭ ﺑﺎﻛﻴﺔ ﻭﺗﻌﻄﻠﺖ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻣﻦ اﻻﺫاﻥ ﻭاﻷﻣﺎﻣﺔ ﻟﻤﻮﺕ ﺃﺭﺑﺎﺏ اﻟﻮﻇﺎﺋﻒ ﻭاﺷﺘﻐﺎﻝ ﻣﻦ ﺑﻘﻰ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﺸﻲ ﺃﻣﺎم اﻟﺠﻨﺎﺋﺰ
"Jika ada orang yang keluar rumah maka ia akan melihat mayat atau orang sakit atau relawan yang sibuk mengurus orang mati. Tidak didengar kecuali wanita meratapi atau menangisi jenazah. Masjid-masjid sepi dari adzan dan imam, karena para pengurusnya meninggal dan sibuk dengan orang yang masih tersisa untuk berjalan di depan mayat" (Al-Jabrati, Ajaib Al-Atsar 30/25)
3). Andalusia Spanyol
[ ﻋﺎﻡ اﻟﺠﻮﻉ اﻟﻜﺒﻴﺮ ﺑﺎﻷَﻧﺪﻟﺲ] ﻭﻓﻴﻬﺎ ﻛﺎﻥ اﻟﻘﺤﻂ اﻟﻌﻈﻴﻢ ﺑﺎﻷَﻧﺪﻟﺲ ﻭاﻟﻮﺑﺎء. ﻭﻣﺎﺕ اﻟﺨﻠﻖ ﺑﺈﺷﺒﻴﻠﻴﺔ، ﺑﺤﻴﺚ ﺃﻥ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﺑﻘﻴﺖ ﻣﻐﻠﻘﺔ ﻣﺎ ﻟﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﻬﺎ. ﻭﻳُﺴﻤّﻰ ﻋﺎﻡ اﻟﺠﻮﻉ اﻟﻜﺒﻴﺮ
"Tahun kelaparan besar di Andalus. Disana terjadi musim kemarau panjang dan wabah penyakit. Banyak yang meninggal di Isybiliya. Masjid ditutup karena tidak ada yang shalat di dalamnya." (Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam 2/440).
Jadi, kalau masih ada yang ngeyel untuk sholat di Masjid dengan dalil "lebih takut sama Allah" atau "kematian itu ditangan Allah", jadi meskipun Corona--jika belum ajalnya maka tidak akan mati, sehingga mereka memaksa sholat di Masjid. Kalau ada saudara kita yang punya prinsip ini, maka sampaikan agar uji nyali kematian itu jangan setengah-setengah. Meskipun ajal atau kematian itu sudah ditetapkan Allah, namun sebab-sebab kematian seseorang itu tidak ada seorangpun yang tau. Sehingga, jika mereka yang keras kepala keluar rumah, bejama'ah di masjid, dan yakin betul dengan prinsip diatas, coba sampaikan kepada mereka untuk menabrakan dirinya ke sebuah mobil atau kereta api yang sedang melaju dengan cepat. Kalau sampai tewas, maka itulah yang kita sebut sebagai "sebab kematian". Jika tidak, maka ia benar belum ditakdirkan untuk mati. Begitupun virus Corona ini, ia merupakan sebuah sebab kematian yang nyata. Oleh karna itu, anjuran Pemerintah untuk menjaga jarak sosial dan beribadah dirumah adalah langkah tepat untuk memutus rantai penyebaran virus. Sayyidina Umar yang lebih dekat kepada Rasulullah saja ketika mendengar ada wabah Thaun/amawas, ia langsung menghentikan rencananya bepergian. Lantas kenapa kita lebih merasa paling berani?
Kita lupa bahwa ancaman kematian bisa datang kapan saja. Bahkan melalui wabah ini, Corona bisa saja menemui anda karna merasa aman dengan kesombongan iman kita. Apa orang beriman kebal terhadap virus dan wabah? Tidak. Sebab para Sahabat Nabi Muhammad SAW. saja banyak yang meninggal karna wabah amawas saat itu. Diantaranya Abu Ubaidah Bin Jarrah, Muadz Bin Jabal, Yazid Bin Abi Sufyan, dan Harist Bin Hisyam. Lantas kenapa kita merasa paling 'aman karna beriman'?
Saran saya, tutup masjid dan sholatlah dirumah. Sebab, surga dan ampunan Allah tetap terbuka lebar selama Ramadhan. Jadi tidak usah takut gak kebagian surga dan ampunan-nya jika sholat dirumah!
Sekian,
Wallahu yuhyi wayumitu
Abdul Wahid Ola
#wartapinggiran
0 Response to "Masjid ditutup selama Corona? Abdul Wahid Ola: Kasihan Umat Islam dibodohi karena pemahaman agama yang sempit"
Post a Comment