.googlezet{margin:15px auto;text-align:center}

Tiga ajaran besar Bung Karno || Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan

-- --

Bung Karno merupakan seorang pemikir yang menjadikan pemikirannya sebagai dasar filosofi dan metode perjuangan untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sahabat suluh Muda, Bung Karno dan keunikannya memang selalu menarik untuk dibahas dari berbagai aspek terutama dari aspek pemikirannya. Setidaknya dari sosok Bung Karno kemudian kita temukan tiga dimensi ajaran atau pemikiran besar. Apa sajakah? Berikut penjelasannya menurut suluh muda.


1. Ajaran Sosio-Nasionalisme bung Karno.

Dalam artikel berjudul Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi tahun 1932, Bung Karno menegaskan bahwa landasan sosio-nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan.
Hal ini sesuai dengan kutipannya bahwa
...Nasionalisme haruslah mencari selamatnya manusia.... Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan.

Kelanjutan dari artikel itu, bung Karno mengatakan : “Nasionalis sejati, yang cintanya tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat. Nasionalis haruslah menolak segala paham yang sempit budi. Nasionalisme sejati bukan semata-mata suatu tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti,"

Jadi,  sosio-nasionalisme Bung Karno yang sepaham dengan pemikiran Mahatma Ghandi ini adalah nasionalisme yang mengorganisir bangsa-bangsa untuk hidup sederajat dan berdampingan dengan bangsa-bangsa lain.

Bung Karno juga memastikan bahwa nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda dengan nasionalisme eropa. Dalam buku ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ (1926). Bung Karno menegaskan bahwa “Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, dan nasionalisme semacam itu akhirnya pastilah binasa,”

Penjelasan Bung Karno ini merujuk pada sejarah kelahiran nasionalisme Eropa yang berkaitan erat dengan kepentingan kaum merkantilis-pedagang Eropa untuk mencari bahan baku di luar Eropa  bagi kepentingan ekonomi mereka. Yang kemudian memicu ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke seluruh dunia, lalu melahirkan kolonialisme dan imperialisme.

Bung Karno mengatakan, cita-cita sosio-nasionalisme adalah memperbaiki keadaan dalam masyarakat, sehingga masyarakat yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum tertindas, tidak ada lagi kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang sengsara sebagaimana gagasan besar marhaenis.

Gagasan sosio-nasionalisme Bung Karno ini kemudian terwujud dalam konsep Berdiri di Atas Kaki Sendiri atau yang akrab kita kenal dengan (Berdikari).


2. Ajaran sosio-demokrasi Demokrasi bung Karno.

Jika ditelaah lebih jauh maka sosio-demokrasi yang dimaksud bung Karno ini lahir karena adanya ajaran sosio-nasionalisme. Sehingga konsep berdikari dalam ajaran Sosio demokrasi adalah menegaskan dua hal : yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, sebuah kombinasi nilai yang mementingkan kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, sosio-demokrasi adalah pembentukan kekuasaan politik di tangan rakyat dan kepemilikan alat-alat produksi di tangan rakyat itu sendiri. Sehingga hal ini tampak seperti ajaran Karl Marx yang ingin menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Sosio-demokrasi sebagai ajaran, Bung Karno sebetulnya ingin menciptakan sebuah horizon politik yang berbeda dengan berbagai revolusi nasional di negara lain. Di banyak negara, revolusi nasional berakhir pada kemerdekaan  kaum Borjuis nasional. Alhasil, kaum borjuis nasional yang tampil sebagai penguasa sekaligus penindas baru. Sebaliknya, bung Karno hendak menciptakan revolusi nasional yang diperjuangkan oleh rakyat dan untuk rakyat. Tentunya rakyat disini adalah seperti yang digambarkan dalam ajaran marhaenis. Inilah yang menjadi beda antara Sosio demokrasi bung Karno dengan sosial demokrasi ala negara2 revolusi barat.

Sayangnya, seperti yang kita saksikan, ajaran-ajaran Bung Karno nyaris tenggelam di negerinya sendiri. Hal ini dilihat dari banyaknya kaum intelektual yang mengutip pemikiran bung Karno namun tak mampu mengelaborasi konsep Sosio demokrasi ke dalam bentuk yang lebih riill.
Alhasil, ajaran-ajaran Bung Karno hanyalah tampak sebagai slogan-slogan belaka.

3. Ajaran ketuhanan Bung Karno

Bagi kita sebagai pembaca, memahami ajaran Ketuhanan bung Karno sebagai konsep, adalah bagaimana Bung Karno membangun jembatan antara Islam dan kebangsaan.

Suatu ketika, dalam wawancara Cindy Adams, Bung Karno mengatakan : "Bangsa Indonesia dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tidak menjadi soal jalan kepercayaan mana yang kami lalui, kami mengaku hanya kekuasaan Tuhanlah yang dapat membuat kami bertahan melalui abad-abad penderitaan kami. Kami adalah bangsa agraris dan apa yang membuat segala tumbuh? Tuhan Yang Maha Pencipta ! Kami menerima ini sebagai kenyataan hidup." Hal ini menjadi bukti bahwa bung Karno sendiri menjadikan nilai-nilai agama sebagai inspirasi dalam merumuskan berbagai prinsip dalam bernegara.

Semua itu kemudian tercermin dalam pidato 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal dengan pidato lahirnya pancasila. Dalam pidatonya bung Karno mengatakan : "Marilah kita di dalam Indonesia yang kita susun ini, sesuai dengan prinsip ke-5 daripada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!". Sebuah prinsip ketuhanan yang kemudian membawa bangsa Indonesia ini menemukan jati dirinya sendiri sebagaimana tercermin dalam sila kesatu pancasila. Ajaran ini pun menajadi relevan karena sesuai dengan latarang belakang bangsa Indonesia yang pluralis.

Dalam buku nasionalisme, islamisme, dan maxisme. Terlihat jelas bung Karno memaknai Islam sebagai suatu ideologi yang progresif yang anti penindasan, anti penjajahan dan anti eksploitasi. Sehingga bung Karno sendiri tak mengindahkan pemahaman Islam yang jumud dan tidak progresif, atau pemahaman Islam yang mengakomodasi takhayul belaka. Pemahaman seperti inilah yang nantinya melahirkan buku Islam sontoloyo. Sebuah buku yang mengkritisi kelompok Islam yang tidak mengindahkan semangat dari ajaran Islam itu sendiri.

Namun demikian, cakrawala berpikir Bung Karno tidak terbatas pada suatu paradigma religiusitas keislaman semata. Artinya bung Karno juga mempelajari ajaran-ajaran teologis lainnya yang hidup dalam alam pikiran masyarakat nusantara, hal ini dilakukan bung Karno semata untuk memperkaya keyakinannya akan Sang Khalik.

Sahabat suluh muda, untuk mengetahui jejak keislaman bung Karno lainnya, ada sebuah buku yang rekomendid, bertajuk Ensiklopedia Keislaman Bung Karno. Buku ini memberikan gambaran utuh mengenai pemikiran Bung Karno tentang Tuhan, Islam, alquran, Nabi Muhammad, dan nilai-nilai Islam serta kontribusi bung Karno terhadap Islam.

Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa bung Karno adalah seorang pemikir yang pikirannya penuh dinamika. “Pikiran-pikirannya tentang Islam sangat hidup, begitu inspiratif dan merupakan bagian dari kebangkitan kembali pemikiran-pemikiran Islam sedunia walau dalam beberapa bagian, sulit bagi kita menerimanya,”  (Ahmad Wahib dalam Catatan Pergolakan Pemikiran Islam).


Bandung, 22 Maret 2020
|| Zainudin Arsyad



Warta Pinggiran


0 Response to "Tiga ajaran besar Bung Karno || Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan"