.googlezet{margin:15px auto;text-align:center}

CINTA BERSEMI DITENGAH DERASNYA REVOLUSI. Kisah cinta bung Karno bersama Inggit dan Fatmawati

-- --



Suatu ketika di bulan Agustus 1938, Fatmawati yang merupakan anak semata wayang Hasan Din, pemimpin Muhammadiyah Bengkulu itu bertemu dengan bung karno
Pertemuan keduanya memang berjalan biasa. Saat itu belum ada pertanda apa pun jika kelak Fatmawati bakal jadi istri Bung Karno.

Malam itu bung karno menawari Fatmawati untuk bersekolah di Rooms Katholik Vakschool bersama Ratna Juami, yang merupakan anak angkat bung karno dan Inggit Garnasih.

Fatmawati yang masih berusia 15 tahun itu kemudian mempertimbangkan tawaran bang karno, karena terhalang dengan persyaratan sekolah yang ditawarkan.

“Bung Karno lalu menjamin akan mengurus hal itu dan mulai hari itu juga aku tinggal di rumah Bung Karno,” kenang Fatmawati dalam memoar Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985: 32-33).

Akhirnya Fatmawati menerima tawaran itu dan bung karno menyambutnya sebagai anggota keluarga.

Bung karno yang berusia 37 tahun saat itu, memandang Fatmawati sebagai gadis remaja yang spesial. Menurutnya, Fatmawati adalah gadis cantik yang menyenangkan dan cukup cerdas.

Namun, bung Karno agaknya belum berani berharap lebih. “Yang aku rasakan padanya adalah kasih-sayang seorang ayah,” kata bung karno seperti yang dituturkan kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 170).

Bung karno mungkin bisa beranggapan demikian, tapi Inggit Garnasih bisa membaca perasaan terdalam suaminya. Sebagai perempuan yang peka, ia merasakan percik-percik ketertarikan dari pandangan suaminya itu.

Suatu ketika Inggit lalu menyatakannya, Bung Karno pun membantahnya.
Inggit yang terlanjur cemburu, kemudian menimbulkan suasana rikuh di antara keduanya.
Sahabat Suluh Muda,
Sehebat apa pun bung Karno di lapangan pergerakan nasional, ia tetaplah lelaki biasa. Hampir dua dekade berumah tangga, Inggit tak mampu memberinya anak. Kenyataan itu membuat bung karno kemudian berpikir panjang.

“Istriku sudah mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, penuh vitalitas, dan memasuki usia terbaik di puncak kehidupan. Aku menginginkan anak. Istriku tidak dapat memberikannya padaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal seperti itu,” kata bung Karno kepada Cindy Adams (hlm. 171).

Inilah sebabnya membuat hubungan Inggit dan Fatmawati kemudian semakin memburuk.

Inggit menyesal telah memperbolehkan anak orang lain memasuki rumah tangganya. Bung karno sendiri tak tega jika harus melepas Inggit Garnasih. Bagaimanapun ia mencintai Inggit.

Sahabat Suluh Muda,
Seperti yang tercatat dalam buku Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981: 383-384), di dalamnya tertulis  harapan bung karno kepada Inggit untuk tetap jadi istrinya.

  “Bukankah bisa aku mengawininya sementara kita tidak bercerai?”
“Ya, kalau mau kawin dengannya, boleh. Tetapi ceraikan dahulu aku,” ujar Inggit (1981: 383-384)

Bung karno kemudian berusaha menekan perasaannya kepada Fatmawati demi cintanya kepada Inggit. Lebih dari ketertarikannya kepada Fatmawati, yang utama dalam benak bung karno adalah ingin memiliki anak. Karena itu ia meminta kepada Inggit mencari perempuan lain, yang sekiranya lebih cocok untuknya, dan bersedia melupakan Fatmawati.

“Tunjukkan seorang perempuan yang tidak seperti anak kita lagi dan dengan demikian dapat membebaskanmu dari kebencian yang kau rasakan sekarang,” pinta bung karno kepada Inggit (Cindy Adams, 2014: 173).

Hubungan mereka begitu tegang, tapi mereka tetap meneruskannya. Keadaan tambah berat manakala Ratna Juami kembali ke Jawa untuk meneruskan sekolah. Sukarno semakin kesepian. Di saat itu Fatmawati adalah satu-satunya anak asuh yang menemani bung karno.


Sahabat suluh muda,
Suatu waktu Fatmawati kemudian mendatangi bung karno untuk meminta saran mengenai pinangan seorang anak wedana. Bukannya memberi saran, bung karno justru berterus terang kepada Fatmawati.

“Fat, sekarang terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Dengarlah baik-baik,” ujar bung karno. “Begini Fat ... sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu pertama kali aku bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali.”

Fatmawati bingung dan pelik karena tahu bahwa bung karno telah berkeluarga. Karenanya, tak terbersit perasaan apa pun di hatinya kepada bung karno selain rasa hormat seorang anak kepada bapak angkat.
Bung Karno sendiri tak berhenti sebatas pengakuan; rayuan maut pun diutarakannya.

“Aku seorang pemimpin rakyat yang ingin memerdekakan bangsanya dari Belanda, tapi rasanya aku tak sanggup meneruskan jika kau tak menunggu dan mendampingi aku. Kamu cahaya hidupku, untuk meneruskan perjoangan yang maha hebat dan dahsyat.”

Menghadapi rayuan bung karno itu Fatmawati bergeming. Tak mampu ia memutuskannya sendiri. Lagi lagi, sebagai sesama perempuan, Fatmawati tak ingin melukai hati Inggit. Dan Fatmawati sendiri tak bisa menerima poligami.

Selang beberapa waktu, Hasan Din dan Fatmawati menyatakan keberatan atas pinangan bung Karno karena statusnya masih beristri. Kepada Hasan Din, bung karno meminta waktu enam bulan untuk menyelesaikan permasalahan dengan Inggit.

Tetapi, lepas enam bulan, tak ada kabar dari bung karno. Hubungan mereka tetap menggantung hingga kedatangan bala tentara Jepang ke Hindia Belanda pada awal 1942. 

Hubungan mereka semakin sulit karena bung Karno harus mengungsi dan kembali ke Jawa. Meski begitu, keduanya tetap berkomunikasi.

"Saat itu aku mulai benar-benar jatuh hati pada bung Karno". Ungkap Fatmawati dalam memoar Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1981: 41)
Karena perselisihan yang tak terjembatani antara bung karno dan Inggit, pada akhirnya mereka bercerai pada pertengahan 1943. Bung karno pun memulangkan kembali Inggit ke Bandung.

Berakhir sudah bung karno dan Inggit pada titik ini.

Tak berapa lama bung karno segera mengusahakan pernikahan dengan Fatmawati. Karena bung Karno tak bisa datang ke Bengkulu,  maka pernikahan berlangsung dengan cara perwalian. Bung Karno saat itu diwakili oleh seorang utusan.
Melalui telegram, Fatmawati diberi kabar: “Fatmawati, nikah dengan wakil; yaitu Saudara opseter Sarjono, tanggal 1 Juni 1943 berangkat ke Jakarta. bung Karno dalam Memoar.” (Fatmawati, 1981: 48)
Fatmawati kemudian mendampingi bung karno melewati masa-masa pendudukan Jepang di Jakarta. Anak pertama mereka, Guntur, lahir pada 1944.

Ketika Indonesia merdeka dan bung karno menjadi presiden, Fatmawati dihadapkan pada peran baru sebagai ibu negara.

Menjadi istri presiden di negara baru adalah beban  yang berat. Apalagi situasi pasca-kemerdekaan memanas dengan cepat karena kedatangan Sekutu dan Belanda. Perlawanan dan kontak senjata antara pejuang republik dan tentara Belanda pada akhir tahun 1945 semakin sering terjadi. Dalam situasi genting seperti itulah Fatmawati berdiri di antara peran istri dan ibu negara.

Fatmawati lalu harus membiasakan diri hidup berpindah dan terpisah dari bung Karno untuk menghindari penangkapan Belanda.

Dalam memoarnya, Fatmawati berkisah:
“Kalau sudah Magrib aku berpisah dengan Bung Karno. Bung Karno jalan sendiri, sedangkan aku bersama ibuku pergi untuk menginap di tempat kenalan baik dengan pengawalan pistol dan golok. Biasanya kami melalui lorong-lorong kampung menuju tempat rahasia, di mana Bung Karno sudah menunggu atau menyusul. ... Kadang-kadang aku terpaksa menyamar sebagai tukang pecel, dan Bung Karno menyamar sebagai tukang sayur dengan gaya berjalan pincang.” (Fatmawati, 1981: 89)

Ketika pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta, peran Fatmawati sebagai ibu negara kian terasa. Jika fokus bung Karno pada soal-soal politik dan pemerintah, Fatmawati mendukungnya dengan mengurus rumah tangga istana.
“Dalam keadaan begitu aku berusaha mengatur suasana kekeluargaan seberapa dapat, di samping mengurus dan memperhatikan kepentingan ‘keluarga besar’ yang keluar masuk di tempat itu,” tulis Fatmawati dalam memoarnya, ( 130-131).

Fatmawati tak canggung ikut mengurus keperluan pasukan gerilya. Ia memasak makanan yang awet untuk dikirim ke front. Sekali waktu ia pergi sendiri berbelanja tanpa pengawalan. Padahal saat itu Fatmawati sedang hamil (Fatmawati, 1981: 133).

Ia juga kerap mendampingi bung Karno dalam kunjungan-kunjungan ke beberapa daerah. Tidak hanya sebagai pendamping, ia tampil berpidato menyemangati massa rakyat seperti yang terjadi dalam kunjungan ke Cirebon. 

Saat itu Fatmawati diminta massa untuk turut memberi pidato usai Presiden Sukarno turun dari podium. Fatmawati lalu menyanggupi tantangan itu. Sedangkan Bung karno kelihatan senang dan bangga dengan keberanian istrinya (Fatmawati, 1981: 134).

Peran Fatmawati pun semakin sentral sesudah revolusi. Ketika pemerintahan kembali lagi ke Jakarta, Fatmawati kembali jadi pengatur Istana Merdeka yang terbengkalai dan ikut pula dalam perjalanan Presiden Sukarno ke luar negeri.

Ia piawai membangun kedekatan dengan pemimpin-pemimpin negara sahabat Indonesia seperti Perdana Menteri India Nehru dan Perdana Menteri Pakistan Begun Aga Khan.

Sahabat suluh muda.
Peran Fatmawati sebagai first lady berakhir ketika ia memutuskan untuk keluar dari Istana Merdeka sekitar tahun 1955. 
Ketika itu bung karno menikah lagi dengan Hartini pada pertengahan 1954.  Hal itu melukai hati Fatmawati. Sebagaimana telah  diucap Fatmawati kepada Bung Karno saat pertama kali menyatakan cintanya, bahwa Fatmawati pantang dipoligami. 

Fatmawati pada akhirnya lebih memilih keluar dari Istana dan menanggalkan statusnya sebagai ibu negara untuk  sebuah prinsip tak mau dipoligami.
Itulah kisah singkat perjalanan cinta bung karno diantara Inggit Garnasih dan Fatmawati.




0 Response to "CINTA BERSEMI DITENGAH DERASNYA REVOLUSI. Kisah cinta bung Karno bersama Inggit dan Fatmawati"