Prolog
Nahdlotul Ulama (NU) merupakan
organisasi masyarakat pertama yang mendeklarkan diri sebagai organisasi yang
berlandaskan Islam Ahlusunnah Wal Jama‟ah, begitupun juga PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia) yang merupakan anak terbaik NU menjadikan Ahlusunnah wal Jama‟ah
sebagai landasar berfikir dan bergeraknya.Maka dari itu penggalian, penghayatan
dan pengamalan islam Ahlusunnah wal Jama‟ah di lingkungan NU dan PMII
harus terus dilakukan karena Ahlusunnah wal Jama‟ah merupakan sebuah ideologi yang
menjadi basis/landasan bagi setiap proses berfikir, berdzikir dan beramal
soleh.
Namun sesuai tuntutan zaman,
makna Ahlusunnah wal Jama‟ah (selanjutnya disebut ASWAJA) terus
mengalami evolusi sehingga dalam setiap masa ada hal-hal baru yang berbeda yang disesuaikan dengan keadaan masa
itu. Tapi dari perbedaan itu ada hal-hal
yang menjadi ciri khas (karakteristik) bersama orang-orang ASWAJA mulai zaman
Nabi sampai sekarang.
Reinterpretasi ASWAJA serta meng-Up Grade nya harus terus
dilakukan, karena realitas yang harus disikapi oleh ASWAJA yang dulu dengan
yang sekarang itu berbeda.Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap ASWAJA sendiri
juga harus berbeda, namun tidak keluar dari frame (bingkai)ushul yang dibangun
oleh para pendekar ASWAJA dari masa ke- masa.
Tulisan ini akan mencoba menggali bagaimana karakteristik
orang-orang ASWAJA, yang mana karakter ini akan menjadi bassic value (Nilai
Dasar) bagi pola/metodologi berfikir ASWAJA dalam menyikapi setiap realitas
yang ada di zamannya. Kajian sejarah serta doktrin ASWAJA merupakan pra-syarat
yang harus dipenuhi untuk mengetahui hal di atas.
Ada dua kajian sejarah yang akan ditampilkan dalam tulisan ini,
pertama sejarah Ahlusunnah dalam konteks dunia, kedua sejarah Ahlusunnah dalam
konteks Nusantara. Dalam rangka membaca sejarah Ahlusunnah wal Jama‟ah
dunia, saya menampilkan sekelumit kajian mengenai realitas Arab pra islam agar
nantinya diketahui suatu kontinuitas historis (kelangsungan sejarah) lahirnya
Ahlusunnah wal Jama‟ah. Untuk sejarah islam Ahlusunnah wal Jama‟ah konteks
Indonesia, saya mengawali dari waktu proses masuknya islam ke Indonesia hingga
islam zaman Hadhratussyakh Hasyim
Asy‟ari.
Kajian kedua mengenai doktrin pokok
(ushul) ASWAJA yang dibangun oleh para Ulama ASWAJA dari setiap zaman.
Mulai dari definisi ASWAJA, pokok pemikiran ASWAJA serta yang lainnya.
Selanjutnya penulis akan menampilkan bangunan epistemologinya agar bisa
kontekstual untuk saat ini. Oleh karena itu tulisan ini jugaakan menampilkan
kajian kritis dari Ulama ASWAJA masa kini dalam rangka me-refresh pemahaman
ASWAJA, seperti yang dilakukan oleh K.H. Said Agil Siradj dan K.H. Hamdun
Ahmad.
ASWAJA yang saya tampilkan dalam tulisan ini adalah ASWAJA dalam
perspektif, artinya ASWAJA yang diyakini oleh warga Indonesia terutama
Pesantren, NU dan PMII, bukan ASWAJA nya Ibnu Taimiyyah ataupun kelompok
WAHABI.
Dalam tulisan ini sengaja tidak di buatkan footnote, endnote
ataupun yang lainnya, agar pembaca dan pengkaji sekalian tidak dipusingkan
dengan melihat daftar referensi, juga yang paling penting bagi para pemula
dalam mengkaji ASWAJA adalah memiliki keinginan untuk melacak referensi yang
ada dalam tulisan ini, karena pasti dalam tulisan ini banyak kesalahan. Tapi
tenang saja kami akan menyajikan daftar referensi nanti dibelakang dalam DAFTAR PUSTAKA.
A. REKONTRUKSI SEJARAH ASWAJA DUNIA
Sosio-Kultur Bangsa Arab pra-islam dan pengaruhnya terhadap
munculnya firaq (aliran-aliran) dalam islam.
Jazirah Arab adalah diantara
teritori yang memiliki keunikan tersendiri namun sayangnya kajian tentang
bangsa Arab sering luput dari perhatian di era kontemporer ini.
Meski luas Semenanjung Arab
mencapai kurang lebih seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika,
namun yang kita ketahui tentang belahan dunia ini benar-benar di luar proporsi
yang seharusnya. Kita bahkan mengetahui lebih banyak tentang wilayah Arktik dan
Antartika dari pada wilayah Arab, itulah ungkapan Phillip K. Hitti dalam
bukunya History of The Arabs.
Dalam kesempatan ini akan
diuraikan sealakadarnya mengenai kondisi geografis Jazirah Arab serta hubungan
bangsa Arab dengan orang di luar bangsa Arab yang nantinya akan mempengaruhi
system budaya, social, keagamaan bangsa Arab.
1. Kondisi geografis Jazirah Arab
Semenanjung Arab merupakan semenanjung Barat daya Asia, sebuah
semenanjung terbesar dalam peta dunia.Wilayahnya dengan luas 1.745.900 km2. Di
jazirah ini pegunungan berjejer serta gurun tandus yang membentang luas. Dari sisi kondisi
cuaca, semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas,
meskipun diapit oleh lautan di sebelah Barat dan Timur.Di daerah ini musim
kemarau tiga tahun merupakan hal yang lumrah.Hujan badai yang singkat dan
banjir yang cukup besar kadang-kadang menimpa Mekah dan Madinah, dan pernah
berkali-kali meruntuhkan Ka‟bah. Batasan-batasan alam yang membatasi Jazirah Arab adalah:
•Di bagian Barat: berbatasan dengan Laut Merah.
•Dibagian Timur: berbatasan dengan Teluk Arab.
•Dibagian Utara: berbatasan dengan Gurun Irak dan Gurun Syam.
•Di bagian Selatan: berbatasan dengan Samudra Hindia.
Hanya di daerah Yaman dan Asir saja yang mendapatkan curah hujan
yang cukup untuk bercocok tanam secara teratur.Tanaman yang tumbuh dua musim
dapat dijumpai di lembah subur ini yang berjarak 340 km.
Udara yang kering dan tanah yang bergaram mengurangi kemungkinan
tumbuhnya tanaman-tanaman hijau.Hijaz banyak ditumbuhi pohon kurma.Dan kurma
ini merupakan tanaman perimadonadi semenanjung Arab.Diantara tanaman yang
tumbuh di daerah ini adalah; Gandum, pohon akasia, anggur, dan lain-lain.
Dalam dunia fauna (hewan), ada beberapa hewan yang bias bertahan
hidup di padang pasir yang tandus,
seperti namir (panter), fahd (macan-tutul), hyena, serigala,
rubah dan kadalkadalan (khususnya al-dhabb), dan singa, yang sering dikutif
dalam syair-syair Arab klasik. Diantara burung-burung pemangsa yang hidup di
daerah ini adalah elang, rajawali, burung hantu dan lain-lain.Hewan yang paling
banyak dipelihara adalah unta, keledai, anjing penjaga, anjing pemburu
(saluqi), kucing, domba, dan kambing.Menurut cerita, keledai dibawa dari Mesir
setelah masa hijrah Nabi.
Negara-negara modern yang termasuk jazirah Arab adalah; Saudi
Arabia, Yaman, Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Oman, Masqat dan Aden.
2. Hubungan Internasional pertama bangsa Arab
Hubungan antara bangsa Arab dengan yang lainnya merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi watak dan karakter bangsa Arab baik kepribadian,
kehidupan sosial, budaya maupun kepercayaan.
Interaksi pertama bangsa Arab adalah antara Arab Utara dan Arab
Selatan, orang-orang Arab Utara merupakan orangorang nomad (berpidah-pindah
tempat) yang tinggal di „rumahrumah bulu‟ di Hijaz dan Nejed, sedangkan
orang-orang Arab Selatan kebanyakan adalah orang-orang perkotaan, yang tinggal
di Yaman.
Kemudian bangsa Arab melakukan kontak dengan bangsa Ibrani yang
waktu itu beragama yahudi. Kontak antara bangsa Arab dengan bangsa Ibrani
terlihat dalam cerita-cerita klasik seperti yang diungkapkan oleh Herodotus
(484-425 SM) seorang sejarawan Yunani, juga sebagaimana yang terungkap dalam
perjanjian lama.
Selanjutnya bangsa Arab berinteraksi dengan imperium Romawi.
Sebagai penguasa dunia sebelah Barat, orang-orang Romawi tidak berhasil
menguasai Arab. Pengiriman 10.000 pasukan dari Mesir di bawah pimpinan Aelius
Gallus pada 24 SM, yaitu pada masa pemerintahan Caesar Augustus, disertai
dukungan sekutu mereka dari bangsa Nabasia, ternyata menemui kegagalan.
Ketertarikan bangsa Romawi ke kawasan ini, diantaranya; karena Arab
dikenal sebagai penghasil rempahrempah dan wewangian. Herodotus misalnya
mengatakan, “semua daerah di semenanjung Arab menebarkan aroma yang sangat
wangi”.
Selain dengan bangsa-bangsa di atas, bangsa Arab juga berinteraksi
dengan penguasa Timur waktu itu yakni imperium Persia. Namun yang menjadi
keunikan dari bangsa ini adalah walaupun mereka terkenal jahiliyah tapi mereka
menjunjung kebebasan dan kemurnian tradisi. Jahiliyah bangsa Arab merupakan
jahiliyah murni (artinya Jahiliyah yang dihasilkan dari gesekan di antara
mereka), bukan jahiliyahnya kristen Romawi, juga bukan jahiliyahnya joroaster
Persia serta bukan pula jahiliyahnya filsafat Yunani.
3. Kondisi sosio-kultur bangsa Arab pra-Islam
Sebagaimana telah jelas di
atas bahwa daerah Arab merupakan daerah padang pasir yang gersang serta kontak
bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Kemudian hal itu memperngaruhiwatak dan
kepribadian mereka. Kyai Said Agil Siradj menyatakan bahwa karakteristik
jazirah Arab yang sebagian besar daerahnya berupa pasir. Watak alami pasir
tidak bisa disatukan dan selalu labil, selalu
berpindah-pindahdari satu tempat ke tempat lainnya. Sifat labil ini secara
antropologis tampak pada istilah “Arab” yang berarti bergerak, berubah,
atau labil. Dengan demikian, kata
“arobah” sering pula diartikan gerobak atau sejenis kendaraan yang selalu
bergerak.
Senada dengan ungkapan di atas, Phillip K. Hitti menyatakan bahwa
kesinambungan kehidupan yang monoton dan kegersangan gurun tercermin dengan
baik dalam karakteristik fisik dan mental orang-orang badui. Secara anatomis,
mereka merupakan kumpulan jaringan syaraf, tulang dan otot. Kegersangan tanah
mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka.
Selain itu, ungkap Kyai Said Agil
Siradj, suasana gersang di padang pasir yang teramat luas juga membentuk
karakter bangsa Arab sebagai bangsa yang fatalis. Ketika kehabisan air, mereka tidak lantas
berusaha mencarinya, karena di mana pun sama, hanya ada padang pasir.
Satu-satunya upaya yang tersisa adalah
menghadapkan muka ke atas, kemudian berdoa, “Ya Allah, berikan kami air, turunkanlah hujan.” Demikian pula halnya ketika mereka kehabisan
rumput. Oleh karena itu, sama sekali mereka tidak punya upaya untuk berfikir
bagaimana menciptakan hidup yang mapan, atau ekonomi yang berkembang pesat.
Karena kerasnya hidup di padang pasir,sehingga mereka sangat menghargai perjanjian, memuliakan tamu dan
mereka sangat loyal terhadap suku mereka, maka mereka akan melindungi suku
masing-masing baik yang berdzolim apalagi yang di dzolim oleh suku lain, namun
jika di antara mereka membunuh anggota sukunya sendiri maka tidak akan ada yang
melindunginya. Juga yang menjadi salah satu fenomena penting mengenai relasi
antar suku di jazirah Arab adalah maraknya peristiwa pembegalan atau perampokan
terhadap kafilah yang lewat.
Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis
semangat yang dikenal dengan sebutan ashabiyyah (semangat kesukuan). Ini
mengisyaratkan loyalitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota klannya dan
secara umum mirip dengan patriotisme yang bersifat fanatik dan cauvinistik.
“setialah kepada suku kalian !”
ungkap seorang penyair. Tapi terkadang juga bersikap garang terhadap suku lain. Dengan demikian, wajarlah jika
bangsa Arab terkenal gampang bermusuhan antara kabilah yang satu dengan yang
lain. Bahkan, hanya karena ada tamu yang
diganggu, perang saudara pun bisa
tersulut. Seperti perang 40 tahun yang
terkenal dengan perang Fijar, yang pada saat itu Rasulullah SAW sendiri
sempat ikut. Sejak remaja, beliau sudah terlibat dalam permusuhan dengan suku
lain dengan membantu pamannya, Abu Thalib, membawakan anak panah. Itulah
sekedar ilustrasi sosial budaya bangsa Arab.
Kemudian masih menurut Hitti, bahwa watak antisosial dari
individualisme dan ashabiyyah ini masih tetap menjadi ciri khas bangsa Arab
hingga saat mereka berkembang setelah kelahiran islam, dan merupakan salah satu
faktor penting yang menyebabkan perpecahan dan kehancuran total berbagai
kerajaan islam.
Oleh karena itu, kiai Agil Siradj menyatakan bahwa pada masa pra
islam orang jahiliyah bangga dengan gelar kesukuanya, namun setelah islam lahir
maka gelar kesukuan itu hilang, sebagai contoh Sayyidina Abu Bakar tidak pernah
memakai nama Abu Bakar At-Taymitapi As-Siddiqpadahal beliau dari suku bani
Taymiyyah, Sayyidini Umar tidak pernah memakai nama Umar Al-Adiyy tapi Al-Faruq,
padahal beliau dari suku Adiyy, kemudian Sayyidina Utsman tidak pernah memakai
nama Az-Zuhryy,juga Sayyidina Ali tidak pernah memakai nama Al-Hasyimitapi
Al-Murtdho.
Semangat kesukuan ini mulai timbul lagi ketika akan pengangkatan
kalifah Utsman oleh enam tim formatur. Disitu semangat kesukuan mewarnai proses
pengangkatan.
Selanjutnya dalam bidang kepercayaan, bangsa Arab adalah orang
paganis yakni penyembah berhala, tapi
jangan salah bahwa mereka asalnya mengikuti ajaran Hanif Nabi Ibrahim, kemudian
Amr bin Luhayyi bin Qum seorang nenek moyang bani Khoza‟ah, membawa berhala ke
Mekah dari negeri Syam untuk disembah sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hisyam
Al-Anshari dalam kitab Sirratunnabawiyyah. Untuk lebih jelas silahkan baca
kitab-kitab Tarikh dan Sirah.
4. Selayang pandang Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW lahir di Mekah yang menurut sebagian sejarahwan
tanggal 20 April 570 ada yang mengatakan 571 dan bertepatan dengan tanggal 12
Rabiul Awwal (bulan Mulud), namun menurut yang lain tanggal 9, dan masih banyak
lagi perbedaan pendapat mengenai itu.
Yang terpenting bagi kita
sebagai umat Nabi Muhammad SAW adalah mengambil Ibroh (gambaran/pigur) dari
sepak-terjang hidup beliau. Al-Qur‟an menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
uswatun hasanah (pigur yang baik), maka dalam hal apapun kita bisa mengambil
contoh dari Nabi, kita sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai panglima,
pemimpin Negara, pemimpin agama dan lain-lain semuanya bisa mencontoh Nabi
Muhammad SAW.
Sepek-terjang hidup beliau
terekam dalam banyak kodifikasi hadits juga dalam karya-karya siroh (penjalanan
hidup) serta tarikh (sejarah) yang ditulis oleh ulama klasik maupun
kontemporer, juga yang ditulis oleh non muslim (orientalis). Namun disini hanya
akan diuraikan sealakadarnya untuk mengetahui sejarah hidup Nabi.
Pada tahun 610 Masehi beliau
menerima wahyu, untuk menjadi utusannya Allah.Dari sinilah beliau berperan
sebagaiad-dai ilallah (yang mengajak kepada jalan Allah) juga sebagai basyir
(yang memberi kabar gembira bagi orang yang berbuat baik) dan nadzir (yang
memberi peringatan bagi orang yang berbuat jahat).
Dakwah beliau pertama dilakukan di Mekah dengan menggunakan metode
dakwah sirriyah (secara sembunyisembunyi) dan islam-pun disampaikan kepada
orang yang dekat dengan beliau. Orang yang masuk islam pada masa ini disebut
sebagai assabiqunal awwalun diantaranya Khadijah (istri beliau), Abu Bakar,
Utsman (sahabat beliau), Ali bin Abi Thalib (keponakan beliau) serta yang
lainnya, dakwah seperti ini dilakukan selama 3 tahun, kemudian dakwah secara
terangterangan (dakwah jahriyyah) dengan menggunakan lisan tanpa perang, metode
ini berlangsung sampai sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Pada masa ini penyiksaan
dan pembaikotan baik secara ekonomi maupun politik dilakukan oleh kelompok
kafir Quraisy terhadap umat islam, maka dari itu hijrah sangat dibutuhkan, maka
dipilihlah daerah Yatsrib (Madinah sekarang)
sebagai tempat hijrahnya.Ia dinamakan Yatsrib Karena yang membuka dan
membangun kota tersebut bernama Yatsrib bin Amliq bin Laudz bin Sam bin Nuh.
Menurut Kyai Said Agil Siradj, Nabi Muhammad SAW bersosialisasi di
Mekah dengan menawarkan prinsip teologi la ilaha illallah, tiada Tuhan selain
Allah. Di samping secara teologis bermakna penegasan tidak ada Tuhan yang
absolut kecuali Allah. Pernyataan keimanan ini juga memberikan dampak sosial
politik, yaitu penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan, dan
intimidasi yang melanggar kebebasan dan hak asasi manusia. Soalnya, dalam pandangan islam, manusia dibangun atas
dasar kebersamaan, kebebasan, dan persamaan derajat.
Setelah tiga belas tahun mengemban misi la ilaha illallah
di Mekah, kemudian beliau hijrah ke Madinah, maka pola dakwah pun berubah
karena disesuaikan dengan konteks. Di Madinah
penduduknya sangat bhinekadan plural, adamuslim pendatang (muhajirin)
yang terdiri dari dua suku yakni Bani Hasyim dan Bani Muthalib, ada muslim
pribumi (Anshar) yang terdiri dari dua suku yakni Bani Aus dan Khajraj, ada pemeluk yahudi yang terdiri dari Bani Quraidloh,
Qoinuqo dan Bani Nadzir, serta para penyembah berhala dan sebagian kecil
Kristen di daerah Najran,maka dari itu perlu dibuat satu pemerintahan dan
konstitusi. Negara kota (citystate) Madinah merupakan bentuk Negaranya
sedangkan orangorangnya disebut mutamaddin dengan konstitusi berupa mitsaqu
madinah (perjanjian madinah). Dalam perjanjian/piagam Madinah tidak ada satupun
kata yang menyebut Negara Islam. Dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah
itu sangat besar sekali efeknya bagi orang Madinah pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun antara
suku Khajraj dan Ausbisa didamaikan oleh Nabi dengan perjanjian di atas,
sehingga mereka bahu-membahu bersama Sahabat Muhajirin untuk membangun kota
Madinah.
Dalam piagam madinah tidak ada satu golonganpun yang disuperiorkan,
tapi mereka semua sama dihadapan hukum.Baik orang muslim atau yahudi atau yang
lainnya. Sebagaimana dalam pasal satu piagam madinah disebutkan Bismillahirahmaanirrahim,
Hadza kitabu Nabiyyi Muhammadin SAW, bainal mu‟minin wal muslimin min
Quraisyin wa Yatsrib, wa man tabiahum, wajaahada ma‟ahum, innahum ummatun
waahidatun min duuni nas (Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah
ketentuan Nabi Muhammad SAW antara muslim pendatang dan muslim pribumi, maupun
dari kabilah lain yang bergabung dan berjuang bersama-sama, semuanya itu adalah
satu umat yang meredeka).
Ini baru pasal satu, dalam
pasal-pasal selanjutnya itu diperinci bagaimana seharusnya hak dan kewajiban
antara berbagai suku dalam rangka memajukan Negara Madinah.Di sini perlu
kiranya untuk mengutif kesimpulan yang
dibuat oleh Al-Buthi, beliau menyimpulkan
bahwa isi dari 47 pasal (sebagaimana ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam
Sirratunnabawiyyah Juz II, halaman 112-115 ) piagam madinah itu ada 13 poin,
yakni:
1. Kaum
muslimin, baik yang berasal dari Quraisy, dari Madinah, maupun dari kabilah
lain yang bergabung dengan berjuang bersama-sama mereka semua itu adalah satu
umat.
2.
Semua
kaum mukminin, dari kabilah mana saja, harus membayar diyat (denda) orang yang
terbunuh di antara mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antar sesama
kaum mukminin.
3.
Kaum
mukminin tidak boleh membiarkan siapa saja di antara mereka yang tidak mampu
membayar utang atau denda; mereka harus menolongnya dalam membayar utang atau
denda tersebut.
4. Kaum
mukminin yang bertakwa bertindak bertindak terhadap orang dari keluarganya
sendiri yang berbuat kedzaliman, kejahatan, permusuhan atau perusakan.
Terhadap perbuatan semacam itu, semua kaum mukminin akan akan
mengambil tindakan bersama sekalipun yang berbuat kejahatan itu anak salah
seorang dari mereka sendiri.
5.
Kaum
mukminin tidak boleh membunuh mukmin lainnya lantaran ia membunuh orang kafir.
Seorang mukmin tidak boleh membantu kafir untuk melawan mukmin lainnya.
6. Jaminan
Allah adalah satu, dia melindungi orang-orang yang lemah atas orang-orang yang
kuat. Orang mukmin saling menolong sesama mereka dalam menghadapi gangguan
orang lain.
7.
Setiap
mukmin yang telah mengakui berlakunya perjanjian sebagaimana termaktub di dalam
naskah, jika ia benarbenar beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, niscaya ia
tidak akan memberikan pertolongan dan perlindungan kepada orang yang berbuat
kejahatan. Apabila ia menolong dan melindungi orang yang berbuat kejahatan, ia
terkena laknat dan murka Allah SWT pada hari kiamat.
8. Di
saat menghendaki peperangan, orang-orang Yahudi turut memikul biaya
bersama-sama kaum Muslimin.
9. Orang-orang
Yahudi dari bani Auf dipandang sebagian dari kaum mukminin. Orang-orang Yahudi
tetap pada agama mereka dan kaum Muslimin pun tetap pada agamanya sendiri
kecuali orang yang berbuat kedzaliman dan kejahatan maka sesungguhnya dia telah
membinasakan diri dan keluarganya sendiri.
10.
Orang-orang
Yahudi harus memikul biayanya sendiri dan kaum Muslimin pun tetap harus memkul
biayanya sendiri dalam melaksanakan kewajiban dalam memberikan pertolongan
secara timbal balik dalam melawan pihak lain yang memerangi salah satu pihak
yang terkait dalam perjanjian itu.
11.
Jika
di antara orang-orang yang terikat perjanjian ini terjadi pertentangan atau
perselisihan yang dikhawatirkan akanmenimbulkan kerusakan, perkaranya
dikembalikan kepada Allah SWT dan Muhammad Rasulullah.
12.
Setiap
orang dijamin keselamatannya untuk meninggalkan atau tetap tinggal di Madinah
kecuali orang yang berbuat kedzaliman dan kejahatan.
13.
Sesungguhnya
Allah SWT yang akan melindungi pihak yang berbuat kebajikan dan takwa.
Dari informasi di atas bisa
kita tarik benang merahnya bahwapada masa Nabi orang itu tidak merasa bangga
ketika mereka berasal dari suku besar juga mereka tidak merasa hina ketika
mereka berasal dari suku kecil yang tidak terkenal.Bahkan mereka malu memakai
gelar serta simbol kesukuannya, mereka dengan suka rela melepaskan baju-baju
primordialnya. Tapi yang membuat mereka
bangga adalah ketika mereka bersatu, berjuang, berjihad atas nama pembebasan
(Futuhah), atau atas nama salam (perdamaian) dan sebagainya. Bahkan islam
sangat mengedepankan kasih sayang antara sesama manusia, tanpa memandang ras,
suku, agama, kepercayaan, dan lain-lain, hal ini terbukti ketika Nabi Muhammad
dan umat muslimin melakukan Futuh Mekah, yakni pembebasan kota Mekah, pada
waktu itu ada di antara Sahabat yang mengatakan al-yaum yaumul malhamah (hari
ini adalah adalah hari pembalasan dendam), ungkapan ini terdengar oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga beliau mengklarifikasinya dengan mengatakan al-yaum
yaumul marhamah (hari ini adalah hari kasih sayang). Peristiwa bersejarah ini
menunjukan bahwa islam sangat menghargai manusia dan tidak menyia-nyiakannya.
Negara Madinah pun yang dibangun oleh Rasulullah adalah salah-satu
contoh yang menjadi representasi suatu pemerintahan/Negara yang agung, yang
menjunjung tinggi persatuan, perdamaian, persamaan.Nabi menyatakan bahwa musuh
kita bukanlah orang yang berbeda agama dengan kita, bukan pula orang yang
berbeda etnis dengan kita tapi yang menjadi musuh kita adalah Kedzaliman dengan
siapapun pelakukanya.
Setelah dakwah di Mekah
selama 13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun, Allah SWT memanggil kembali
kekasihnya Muhammad untuk kembali keharibaannya dengan cara mewafatkannya,
peristiwa itu terjadi pada tahun 10 Hijriyyah yang bertepatan dengan tahun632
Masehi.
5. Sebab-sebab perpecahan umat
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat islam merupakan umat
yang satu dan merdeka dari dominasi manapun sebagaimana yang tertuang dalam
Piagam Madinah (Medina Charter, Mitsaqu Madinah, Ahdu Yatsrib). Tapisetelah
Nabi Muhammad SAW wafat, konsentrasi umat terpecah menjadi tiga, ahlul bayt
sibuk mengurusi jenazah Nabi, Abu Bakar dan Muhajirin yang lain sibuk
mengumumkan kepada umat muslim dipelosok Negeri atas kematian Nabi, namun ketika mendengar bahwa Nabi wafat,
bangkitlah Sayyidina Umar seraya berkata “barang siapa yang mengatakan Nabi
telah wafat maka aku penggal kepalanya” bahkan ada sebagian golongan yang
beranggapan bahwa Nabi tidak wafat tetapi akan diangkat oleh Allah ke langit
sebagaimana Nabi Isa bin Maryam. Maka datanglah Abu Bakar untuk menyadarkan
umat islam bahwa Nabi SAW telah meninggal dengan mengutif Al-Qur‟an surat
Az-Zumar ayat 30 “innaka mayyitun, wainnahum mayyituuna (kamu akan mati dan
orang-orang sebelum kamu pun mati)”
seraya menambahkan man kana ya‟budu Muhammadan fainna Muhammadan qod
maata, wa man ya‟budu robba Muhammadin fainnahu hayyun laa yamuutu (barang siapa yang menyembah
Muhammad, maka Muhammad telah meninggal,
tapi barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka dia senantiasa
hidup, tidak akan pernah mati).
Polemik umat tidak sampai
disitu saja, ada sebagian umat islam yang murtad dengan menyatakan bahwa
ketika Nabi meninggal, maka risalahnya (ajarannya) pun sudah selesai. Tapi
polemik ini masih bisa diatasi dengan kegigihan sahabat senior untuk meyakinkan
mereka.
Masalah selanjutnya mengenai
dimanakah Nabi di makamkan?.Orang Mekah menginginkan supaya Nabi di makamkan di
Mekah, karena Mekah adalah tempat lahirnya, diutusnya, kiblatnya serta tempat
keluarganya, dan di Mekah pula kuburan leluhurnya yakni Nabi Ismail AS berada.
Sedangkan orang Madinah menginginkan agar Nabi di makankan di Madinah, karena
Madinah merupakan tempat hijrahnya serta tempat para penolongnya. Bahkan
sebagian kelompok yang menginginka Nabi Muhammad SAW agar di makamkan di Baitul
Maqdis (Palestina), di sebelah kuburan leluhurnya, yakni Khlilullah Ibrahim AS.
Kemudian Abu Bakar melerai perdebatan di antara mereka dengan dalil hadits Nabi
yang berbunyi “annal anbiya‟a yudfanuuna haitsu yuqbadhun (sesungguhnya para
Nabi di makamkan di tempat meninggalnya)”. Akhirnya Nabi Muhammad SAW di
makamkan di tempat meninggalnya, yakni di kamar Sayyidah Aisyah yang berada di
emperan mesjid Nabawi Madinah.
Nah, sengketa yang paling berpengaruh terhadap perpecahan umat
adalah mengenai siapakah pengganti Nabi?
Ketika itu Abu Bakar dan Muhajirin sedang mengumumkanmeninggalnya
Nabi Muhammad SAW kepada seluruh pelosok negeri islam. Di pihak lain, Sahabat Anshar sedang berkumpul di Tsaqifah
bani Saidahuntuk memilih khalifah menggantikan Nabi Muhammd SAW, dalam kesempatan itu sahabat Anshor
telah memilih Sa‟ad bin Ubadah (beliau kadang dipanggil Abu Tsabit atau Abu Qoish
atau Abul Hibab bin Ubadah bin Dalim Al-Anshori..beliau merupakan gegeden suku
Khazraj, meninggaldi daerah Khouran
sebuah daerah di Syam tahun 15 H) untuk menjadi khalifah.
Kemudian proses pengangkatan khalifah di kalangan Anshor ini sampai
ke telinga Abu Bakar, maka berangkatlah Abu Bakar dan Umar beserta seorang
sahabat Muhajirin ke Tsaqifah bani Saidah untuk memusyawarahkan siapakah yang
berhak menjadi khalifah. Disitu terjadilah perdebatan sengit antara pihak
Muhajirin dan Anshor tentang siapa yang harusmenjadi Khalifah. Sahabat Anshor membuat
tesis “minna amirun waminkum amirun” ( kami punya pemimpin dan kalian punya
pemimpin) tapi tesis tersebut dipatahkan oleh Abu Bakar dengan argumentasi
Hadits Nabi “al-imamah min Quraisyin” (bahwa Pemimpin harus dari Quraisy). Akhirnya semua sepakat bahwa
Khalifah harus dari Muhajirin (Quraisy) dan pilihan jatuh pada Abu Bakar.
Setelah itu ber-baiat-lah seluruh umat islam kepada Abu Bakar, maka
Abu Bakar mulai melakukan pembenahan internal umat muslim. Adapun konflik
terbesar pada zaman Abu Bakar adalah memerangi orang pembangkang membayar zakat
dan orang Murtad.Menurut Farag Fouda, kita harus memilih dan memilah apakah
kebijakan Abu Bakar memerangi pembangkang membayar zakat itu dikarenakan mereka
benarbenar murtad dari islam atau hanya karena mereka enggan membaya zakat
kepada Abu Bakar atau Baitul mal.Terlepas dari kontroversi di atas yang penting
hal itu merupakan Ijtihad Politiknya Abu Bakar untuk menyelamatkan keuangan
Negara.Dalam peperangan itu banyak hufadz (para penghafal Al-Qur‟an) yang meninggal,
maka Abu Bakar berinisiatif untuk mengumpulkan naskah Al-Qur‟an yang masih
bersarakan, walaupun rencana ini sempat ditentang oleh Umar tapi akhirnya Umar
pun setuju.Sepeninggal Abu Bakar tampilah
Umarsebagai Khalifah atas dasar wasiatnya Abu Bakar sebelum beliau
meninggal. Umar meneruskan perjuangan Abu Bakar dalam rangka pengumpulan naskah
Al-Qur‟an yang masih bersarakan, pada
masa ini umat islam mulai melakukan ekspansi keluar dalam rangka pembebasan dan
pengislaman baik dengan cara dahwah maupun perang. Jasa tergemilang Umar adalah
keberhasilannya menumbangkan imperium yang menjadi penguasa daerah Timur yakni
kekaisaran Persia dengan peperangan yang terkenal dengan nama perang
AlQadisiyya, bahkan Kaisar terakhir Persia waktu itu benama Yizdarzir II
meninggal.
Pada masa pemerintahan Umar,tidak
adakonflik yang berarti dalam tubuh umat
islam, karena para sahabat dilarang untuk keluar Madinah sehingga
kebersamaan di antara para sahabat masih terjaga.Para Sahabat dilarang
meninggalkannya kecuali atas persetujuannya. Ia menjelaskan dasar kebijakannya
itu dengan santun: ia ingin selalu berada di dekat mereka dan senantiasa
meminta pertimbangan mereka. Padahal alasan sebenarnya adalah kekhawatiran Umat
akan dilihatnya para sahabat dengan penuh kedengkian oleh orang lain dan
potensi mereka utuk cemburu melihat kekayaan orang lain. Bagaimana mungkin para
sahabat itu akan iri melihat orang orang kebanyakan? Sebab mereka digaji Umar
dengan jumlah tertentu, tetapi terbatas. Umar menuntut mereeka untuk mencukupkan
diri dari yang sedikit itu, karena ia sendiri juga mencukupkan diri dengan pola
hidup yang sederhana, itulah kisah yang diungkapkan oleh Farag Fouda. Kemudian
setelah Umar dibunuh oleh Abu Lu‟luah maka beliau digantikan oleh Utsman bin
Affan, dengan pengangkatan yang diprakarsai oleh Tim Formatus yang enam orang
(Ahlul Hal wal Aqd), pada masa inilah petaka besar umat islam dimulai dengan
pro-kontra terhadap Khalifah karena kebijakannya yang bersifat Nepotis,
sehingga Utsman dibunuh oleh para Demonstran, setelah Utsman terbunuh maka
terjadilah kontroversi tentang siapakah yang membunuh Khalifah? Juga
kontroversi tentang apakah harus diangkat Khalifah sebelum mengusut pembunuh
Utsman?Ataukah diusut terlebih dahulu siapa pembunuh Utsman baru setelah itu
diangkat Khalifah?
Pendapat yang harus
mengangkat Khalifah terlebih dahulu dipelopori oleh Ali bin Abi Tholib dengan
argumentasi “bahwa pembunuhan terhadap Utsman itu terorganisasi maka harus
diusut secara sistematis dan terorganisasi pula oleh Khalifah”. Sedangkan
pendapat yang harus mengusut terlebih dahulu dipelopori oleh Muawiyah bin Abi
Supyan (Gubernur Syam) yang masih keluarga Utsman dari Bani Umayah dengan Argumentasi “karena pembunuhan terhadap Utsman bersifat
Terorganisasi, maka tidak boleh buang-buang waktu dalam mengusutnya karena
nanti musuh akan mempersiapkan strategi lain”. Pertentangan yang berlarut-larut
antara Ali dan Muawiyah bahkan Siti Aisyah (istri rosul) beserta sahabat
lainnya terutama Jubair bin Awwam dan Tolhah bin Ubaidillah juga menuntut Ali
untuk menindak pembunuh Utsman maka
terjadilah “Perang Jamal”, dalam perang jamal kemenangan ada di pihak Ali. Adapun puncak dari konflik pada
masa ini adalah peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu
Sufyanyang dikenal dengan nama Perang Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali
hampir menang, tapi dengan taktik muslihat Amru bin Ash (gubernur Mesir waktu
itu dansebagai pendukung kelompok Muawiyyah) yang mengintruksikan seluruh
pasukan Muawiyyah untuk mengangkat mushaf AlQur‟an yang ditusuk dengan tombak mereka, perlakuan
ini sebagai tanda bahwa kelompok Muawiyyah menginginkan berhenti berperang,.
Melihat keadaan pasukan Muawiyyah yang ingin berdamai, maka pasukan Ali berbeda
pendapat, ada yang berpendapat “kita harus meneruskan peperangan karena
selangkah lagi kita memenagkan peperangan”, namun di pihak lain pengikut Ali
ada yang mengatakan “kita harus terima tawaran damai mereka, karena bagaimana
pun, berdamai lebih baik dari pada peperangan”. Pada akhirnyapertentangan pada
kelompok Ali di atas bisa diatasi, bahwa mereka sepakat berdamai dengan
kelompok Muawiyyahmaka dari itu terjadilah proses tahkim (Arbitrase/gencatan
senjata).
Efek dari Tahkim adalah umat terpecah menjadi tiga golongan yaitu
satu Jumhur (yang mengakui hasil Tahkim dan mengakui Muawiyah sebagai
Khalifah), dua syiah(yaitu pengikut setia Ali bin Abu Thalib) dan ketiga
Khawarij(orang yang keluar dari kelompok Ali kemudian mengkufurkan kelompok Ali
dan Muawiyah). Dengan adanya tiga kelompok ini maka pemerintahan Muawiyah
menjadi tidak stabil karena kekuasaannya dirongrong oleh kaum Khawarij dan kaum
syiah maka dalam rangka stabilisasi keadaan Muawiyah melontarkan tesis
tentang Qodar yang berbunyi Lau lam
yaroni rabbi anni ahlun li hadza amri ma tarokani wa iyyah, wa lau karihallah
ma nahnu fihi laghayyarah (“seandainya Tuhanku tidak melihat diriku mampu untuk
memegang tampuk pemerintahan ini, tentu ia tidak akan membiarkanku memegang
tampuk kekuasaan ini. Seandainya ia tidak menyukainya, tentu ia akan mengubahnya”),
dengan pernyataan politik diatas pergolakan sedikit demi sedikit bisa diredam.
Kata Kyai Said, dengan pernyataandi atas mungkin Muawiyah berfikiran seperti
ini: kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak mungkin aku akan menjadi khalifah.
Kalau Allah benci kepadaku sebagai khalifah, niscaya Allah akan menggantiku
dengan orang lain. Nyatanya saya berkuasa dan Ali kalah. Ini semua sudah merupakan ridha Allah. Dengan kata lain, karena hingga sekarang ini Muawiyyah masih
berkuasa, berarti Tuhan masih merestui dan meridhai dirinya untuk tetap berkuasa! Tentu saja, doktrin seperti
ini sangat efektif untuk meredam suasana
tegang di kalangan umat islam. Mereka
yakin bahwa semuanya sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah SWT. kemudian
paham ini dikembangkan pertama kali oleh Al-Ja‟d ibnu Dirham dan dipopulerka
oleh Jahm bin Sofwan dari khurasan dengan nama Jabariyah.
Selanjutnya, faham jabariyyah di atas di counter oleh
Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah (beliau adalah putra sayidina Ali dari istri
kedua yaitu Haulah binti Ja‟far al-Hanafiyah) sebagai anti
tesisnya,dengan pernyataan terkenalnya la qodowala qodar af‟alul ibad minal
ibad (tidak ada Qodo dan tidak
ada Qodar perbuatan
manusia dari manusia), kemudian faham ini diteruskan oleh Ma‟bad al-Juhani dan
Ghailam adDimasyqi dengan pernyataanya la qodowala qodar af‟alul ibad minal
ibad wal amru unuf (tidak ada Qodo dan tidak
ada Qodar perbuatan manusia dari
manusia bahkan Allah tidak tahu manusia akan berbuat apa, Allah baru tahu
setelah dilakukan oleh manusia ) lalu Ma‟bad dan Ghailam ini dikenal sebagai
pendiri Qodariyah, pernyataan Ma‟bad dan Ghailam diatas di modernisir oleh
Washil bin Atho (pendiri Muktazilah) dengan pernyataannya la qodowala qodar
af‟alul ibad minal ibad bal wawlohu ya‟lam (tidak ada Qodo dan tidak ada
Qodar perbuatan manusia dari manusia tapi Allah tahu).
Kaum Khawarij sebagaimana diatas mereka mengkufurkan Ali dan
Muawiyah beserta orang yang melakukan dosa besar, kata mereka orang yang
melakukan dosa besar akan masuk neraka
karena mereka melakukan tahkim, dan tahkim ini menghukumi sesuatu dengan hukum
manusia. Kemudian faham Khowarij ini dibantah oleh suatu gologan yang menamakan
diri Murjiah.Kemudian dalam masing-masing golongan (sekte/aliran) di atas
terjadi pertentangan dan silang pendapat di internal mereka hingga
akhirnya mereka mengkafirkan satu sama lainnya, maka jadilah kurang-lebih 72
golongan.
Setelah kita mengetahui aliran dalam islam maka pertanyaan sekarang
dimana Ahlusunnah waljamaah berada?
Di tengah situasi kacau-balau dan situasi politik yang tidak menentu, ketika orang sulit menemukan kebenaran,
ternyata ada beberapa orang dari generasi Tabiin (generasi penerus sahabat)
yang bisa berfikir jernih dan tidak
berpihak menyikapi situasi politik saat itu.
Kelompok ini dipelopori oleh Imam Hasan Bashri (w. 110 H), Abu Sufyan
Ats-Tsauri, Fudlail ibn Iyadl, serta Abu Hanifah. Mereka menyikapi situasi saat
itu dengan memilih tindakan yang menyejukan, yakni dengan memancangkan suatu
doktrin bahwa satu-satunya cara untuk bisa tetap berada di jalan yang lurus
adalah dengan ruju‟ ilal Qur‟an (kembali kepada Al-Qur‟an). Mereka memilih
jarak dari segenap krisis politik saat itu.
Komunitas Hasan Bashri inilah yang sebenarnya merupakan fondasi
awal faham Ahlusunnah wal Jama‟ah. Baru
kemudian pemikirannya diteruskan oleh Abdullah ibn Kullab (w. 255 H), Harits
ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H) dan Abu Bakar Al-Qolanisi, yang pada abad
berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hasan Al-Asy‟ari dan Abu Mansur Al-Ma‟turidi. Dari kajian
sejarah di atas bisa disimpulkan bahwa
Islam ASWAJA adalah islam yang mengikuti ajaran Nabi dan Sahabatnya (ma ana
alaihi waashabii). Maka dari itukemunculan ASWAJA sebagai sebuah ajaran
(doktrin) berbarengan dengan munculnya islam itu sendiri yang diajarkan oleh
Nabi dan dipraktekan oleh Sahabat kemudian di ikuti oleh Tabiin dan dilanjutkan
oleh Tabiit-tabiin, tapi pada waktu itu
belum terdengar nama atau istilah
Ahlusunnah wal Jamaah secara eksplisit,karena seandainya sudah ada istilah
Ahlusunnah wal Jama‟ah secara eksplisit niscaya
Abu Hanifah (yang mengarang kitab alfiqhul Akbar yang berisi tauhid
Ahlusunah waljamaah) dan Syakh Hasan Bashri memakainya.
Selanjutnya ASWAJA sebagai sebuah nama dan madzhab itu dipopulerkan
oleh Abu Hasan al-Asy‟ari (260-330 H)
pada zaman Al-Mutawakil Alawloh (khalifah Abasiyah ke 10) yang diposisikan
sebagai anti tesis dari dominasi Rasionalisme Muktazilah, karena pada zaman Dinasti Abasiyah khusunya
masa pemerintahan Harun, al ma‟mun, mu‟tasim sampai watsik, muktazilah
menjadi madzhab Negara dan mereka
memaksakan pemikirannya kepada khalayah
yang puncaknya ditandai dengan tragedy mihnah , tapi pada zaman al-Mutawakil
keadaan berbalik dan Aswaja yang mendapat sokongan dari pemerintah, oleh karena
ituAliran yang paling berkembang didunia adalah Ahlusunnah Wal Jamaah (dengan
berbagai versinya).
Pada mulanya Abu Hasan Al-Asy‟ari adalah seorang kader Muktazilah
selama 40 tahun, karena bapak tiri beliau yang bernama Abu Hasyim Al-Juba‟I
seorang aktivis Muktazilah, kemudian beliau pindah dari Muktazilah ke
Ahlusunnah dengan pertimbangan bahwa Muktazilah telah keluar dari koridor
mengikuti Nabi dan Sahabatnya.
Maka jika kita renungkan sejarah ASWAJA, ternyata karakter yang
dimiliki oleh tokoh-tokoh ASWAJA adalah tawassuth (moderat) dan tasamuh
(toleran).Sebagai contoh, pemikiran Al-Asy‟ari memoderasi aliran-aliran yang
berkembang di jamannnya sebagaimana penjelasa di atas, namun beliau selalu
toleran, hal itu terbukti terbukti dengan statement beliau laa ukaffiru ahlal
qiblat (aku tidak mengkafirkan orang masih bertauhid), pandangan ini berbeda
dengan aliran lain yang gampang mengkafirkan orang/golongan yang berbeda dengan
mereka (terutama khawarij). Atau kita bisa melihat ungkapan Asy-Syafi‟i yang
terkenal kullu ro‟yi sowabun wayahtamilul khoto‟ wakullu ro‟yi goiri khoto‟
wayahtamilussowab (setiap pemikiranku benar tapi terkadang salah dan setiap
pemikiran orang selainku adalah salah tapi terkadang benar), dari pernyataan
ini bisa kita simpulkan bahwa Asy‟Syafi‟i yakin akan kebenaran pemikirannya
tetapi tidak menutup ada kebenaran selain yang diyakininya.
Selanjutnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
Al-Gozali pada Abad ke 4-5 H/ (450-505 H), beliau seorang pengikut Asy‟ari
tulen, yang ditangan beliaulah ASWAJA mengalami kemapanan. AlGozali selalu
mengarahkan setiap karyanya untuk memoderasi empat aliran ekstri di jamannya;
1.
Mutakallimin,
adalah orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli berfikir, mereka adalah
orang muktazilah
2.
Filosof,
adalah orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli berdebat dan berdalil
3.
Batiniyyah,
adalah orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ta‟lim yang menjadi
titisan para imam ma‟sum (terpelihara dari dosa), mereka adalah orang syiah.
4.
Sufi,
adalah orang yang menganggap dirinya ahli musyahadah dan mukasyafah.
Pertama-tama Al-Ghozali menekuni ilmu kalam, dari hasil kajian
beliau terhadap ilmu kalam sehingga beliau menyimpulkan bahwa faidah
mempelajari ilmu kalam adalah untuk menjaga aqidah ahlusunnah dari aqidahnya
ahli bid‟ah. Dan di antara kritik Al-Qhozali kepada para ahli kalam di jamannya
adalahpara ahli kalam terlalu disibukan dengan mempelajari istilah-istilah
substansi (jauhar), eksistensi (wujud), aksidensi (sifat), sehingga tidak
sampai kepada tujuan ilmu kalam itu sendiri yakni bertauhid kepada Allah SWT.
Pada mulanya Al-Ghazali adala ahli fiqih madzhab Syafi‟I, bahkan
beliau menjadi mujtahid ashabul wujuh bersama Imam Al-Haromain, setelah itu
Al-Ghozali mempelajari kalam, kemudian beliau mempelajari filsafat selama dua
tahun sehingga beliau memahami filsafat, pemahaman beliau tentang filsafat
tertuang dalam karyanya Maqosidul falasifah, namun Al-Ghozali tidak hanya mempelajari filsafat tapi juga
mengkritik filsafat, sebagaimana yang tertuang dalam karyanya yang lain
Tahafutul falasifah, dalam kitab tersebut beliau mengkritisi para filosof
dengan mengatakan ada 20 kesalahan filosof serta 3 hal yang menyebabkan para
filosof keluar dari frame Ahlusunnah wal Jama‟ah yakni tentang kekalnya alam,
Allah tidak tahu Juz‟iyyat (partikular jagat raya) dan manusia hanya
dibangkitkan ruhnya saja.
Ketika jaman Al-Ghozali hidup, bukan hanya aliran kalam dan
filsafat saja yang berkembang tapi juga syiah dan mereka menamakan diri sereka
sebagai Ta‟limiyyin, mereka berpendapat bahwa mereka bisa memiliki pengetahuan
tentang segala hal tanpa perlu kasab, tapi pengetahuan mereka dihasilkan dari
para imam yang ma‟sum (terjaga dari salah).
Terkhir Al-Ghozali menyelami tasawuf, beliau sangat mengapresiasi
ilmu tasawuf, bahkan tasawuf ini merupakan pelabuhan terakhir Al-Ghozali dalam
pencarian kebenarannya. Namun kritik dan
komentar Al-Ghozali tetap dilancarkan terhadap ajaran tasawuf yang menyimpang
dari Ahlusunnah wal Jama‟ah sepertiajaran Hulul,Ittihad, Wihdatil Wujud dan
lain-lain.
Dari pemaparan di atas membuktikan ternyata, NU/PMII yang
menyatakan bahwa karakter berfikir dan bertindak orang-orang ASWAJA adalah 4 T
(tawasuth, tasamuh, ta‟addul,tawazun) bukan klaim belaka, tapi hasil perenungan
dari sejarah dan sepak-terjang para pendahulunya.
B. REKONTRUKSI SEJARAH ASWAJA NUSANTARA
1. Teori tentang masuknya islam ke Nusanta
Kali ini penulis akan memaparkan sedikit tentang proses masuknya islam ke Nusantara yang dirangkum
dari bukunya Prof. Dr. Azyumardi Azra „Jaringan Ulama Timur Tengan dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII‟, buku ini merupakan intisari dari Disertasi
beliau ketika menempuh S3 di Columbia University Amerika Serikat (1992) dengan judul The Transmission
of islamic Reformism to Indonesia: Nerwork of Middle Eastern and Malay
Indonesia „Ulama‟ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (Camberra;
Allen Unwin & AAAS; Honolulu; University of Hawaii Press; Leiden; KITLV;
2004).
Menurut Azra bahwa proses masuknya islam ke Nusantara menyisakan berbagai perdebatan
panjang di antara para ahli. Perdebatan tersebut berkisar mengenai tiga masalah
pokok: tempat asal kedatangan islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya.
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa
asal-muasal Islam di Nusantara adalah dari Anak Benua India, bukannya Persia
atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapel. Dia mengaitkan asal-muasal
islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah
orang-orang Arab bermadzhab Syafi‟i yang bermigrasi dan menetap di
Indiatersebut yang kemudian membawa islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje dengan
argumentasi, begitu islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua
India dan selanjutnya menjadi penyebar islam pertama ke Nusantara. Baru
kemudian disusul orang-orang Arab.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, mengemukakan bahwa
tempat asal islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini
setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan Sumatra Utara, khususnya
yang bertanggal 17 Dzul Hijjah 831 H / 24 September 1428 M.
Ada sarjana Nusantara yang memegang teori ini, di antaranya Dr.
R.M. Soejipto Wirjosoeparto, beliau mengatakan bahwa bukti islam ini datang
dari daerah Gujarat adalah salah satu makam Raja islam di Samudra Pasai (di
Aceh Utara), yang dibuat dari marmer. Ketika marmer ini retak, didalamnya
kelihatan bahwa marmer ini pernah dipergunakan sebagai tembok kuil Hindu yang
ada di Gujarat. dengan bukti ini, sehingga beliau berkesimpulan bahwa Raja
Samudra Pasai ini memesan makamnya dari Gujarat berupa marmer atau mungkin setelah Raja Samudra Pasai itu meninggal,
kemudian familinya memesankan untuk makamnya itu marmer dari Gujarat.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette di atas kemudian ditentang keras
oleh Fatimi. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip
dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu
pastilah didatangkan dari dari daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk
menyimpulkan, bahwa asal islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal.
Dalam kaitannya dengan teori “batu nisa” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang
kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475 H / 1082 M) yang
ditemukan di Lehan, Jawa Timur.
Namun teori Fatimi juga bermasalah, dikarenakan kaum muslimin
Nusantara memegang madzhab Syafi‟i sedangkan di Bengal menganut madzhan Hanafi.
Ada pendapat yang menarik untuk diungkapkan di sini, pendapat ini
diungkapkan oleh Prof. Dr. P. A. Hoesien Djajadiningrat, beliau berpendapat
bahwa pertama kali masuknya islam ke Indonesia itu adalah dari Iran (Persia),
sebagai buktinya ialah ejaan Arab. Baris di atas, di bawah dan baris di depa
disebut jabar (zabar); dan pees (pjes), ini adalah bahasa Iran. Sedangkan kalau
menurut bahasa Arab ejaannya ialah; fathah, kasroh dan dhommah. Begitu juga
huruf sin yang tidak bergerigi. Ini salah satu bukti terang. Seperti diketahui
bulan Muharram itu adalah bulan wafatnya Husain di Karbala. Pada perayaan itu
diadakan upacara mengarak peti mati yang disebut tabut. Perayaan peti mati itu
ada di Aceh dan di Minangkabau. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga
bulan Tabut, yang mana istilah tabut dalah bahasa Persia berarti peti mati,
sedangkan di Aceh bulan itu disebut bulan Apui (bulan api). Di Aceh bulan itu
disebut juga bulan Asan-Usen (Hasan-Husain). Pendapat ini diperkuat oleh Oemar
Amin Hoesin. Beliau melihat di Persa itu ada satu suku namanya “Leren”
suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada sebuah
kampung Leren namanya. Begitu pula ada suatu suku namanya suku Jawi di Persia.
Suku ini yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf pegon.
Selanjutnya ada teori yang mengatakan bahwa penyebaran islam di
Nusantara itu dilakukan langsung oleh
orang Timur Tengah (Arab) tepatnya Hadhramaut (suatu kota di Yaman), diantara
tokoh-tokoh yang memegang teori ini, di antaranya Crawfurd. Namun Naquib
Al-Attas lah yang paling lantang mendukung teori bahwa masuknya islam ke
Nusantara itu dari Arab dengan beberapa
argumenatasi. Al-Attas memandang bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji
ketika membahas kedatangan islam ke Nusantara adalah karakteristik internal
islam di dunia Melayu-Indonesia itu
sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori umum tentang islamisasi
Nusantara”, yang harus didasarkan terutama pada sejarah literatur islam Melayu-Indonesia
dan sejarah pandangan-dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan
konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur MelayuIndonesia pada
abad ke 10-11/16-17.
Demikianlah, setelah mempertimbangkan perubahanperubahan utama
dalam pandangan dunia rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan islam,
Al-Attas menyimpukan, sebelum abad ke 17 seluruh literatur keagamaan islam yang
relevan tidak mencatat satu pengarang muslim India, atau karya yang berasal
dari Indi. Pengarang-pengarang yang dipandang kebanyakan berasal dari Arab atau
Persia, dan bahkan apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada akhirnya
berasal dari Arab, baik secara etnis maupun kultur. Nama-nama dan gelargelar
para pembawa pertama islam ke Nusantara menunjukan bahwa mereka adalah
orang-orang Arab atau Arab-Persia.
Tokoh ilmuan Nusantara yang gigih menyatakan bahwa islam dibawa
lagsung dari Arab adalah Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka beliau
menyatakan bahwa islam masuk ke Indonesia bukanlah dari Persia atapun Guarat,
melainkan dari Mesir dan Mekah. Adapun alasan-alasan Hamka ialah:
1.
Ibnu
Batutah dalam buku perjalanannya telah menyaksikan bahwa Raja Samudra Pasai
(yang terkenal dengan Jawa di tanah Arab) itu bermadzhab Syafi‟i.
madzhabSyafi‟I yang terbesar waktu itu ialah di Mesir. Dan Raja itu selalu
mengikuti musyawarah ulama Syafi‟I yang ada dalam kerajaannya.
2.
Gelar
yang dipakai oleh Raja-raja Samudra Pasai ialah gelar raja-raja Mesir
belaka,ialah al-Malik. Semua gelar ini dipakai oleh raja-raja Pasai. Tiruan
gelar demikian ini tidak terdapat di Iran, ataupu di India. Gelar “Syah” baru
dipakai raja-raja Malaka pada permulaan abad ke XV. Artinya pengaruh
Persia-India datang kemudian dari pengaruh Arab, yaitu Mesir dan Mekah.
3.
Ibnu
Batutah menerangkan juga, bahwa madzhab yang menduduki tingkat pertama di
negeri Mekah ialah madzhab Syafi‟I juga.
4.
Tidak
dipungkiri bahwa orang Indonesia sudah ada yang berlayar ketika itu menuju
pantai Koromandel atau orang Koromandel melawat ke Aceh atau Indonesia, tetapi
dalam hal agama orang Indonesia orang
Indonesia langsung mengambilnya dari Mekah dan Mesir. Karena kalau pengaruh
Indialah yang besar, niscaya madzhab Nanafiah yang kelihatan lebih berpengaruh
di sini, padahal sampai sekarang tidak ada pengaruhnya, juga tidak ada pengaruh
madzhab Syiah yang mengalir dari Inda atau Iran meskipun ada tetapi sedikit
sekali.
5.
Sebelum
Ibnu Batutah melawat ke Kerajaan Samudra Pasai sudah ada seorang ulama
Indonesia yang besar yang mengajarkan ilmu Tasawuf di Aden, Arab, namanya Syekh
Abu Mas‟ud Abdullah bin Mas‟ud alJawi. Ini menjadi bukti hubungan mencari ilmu
pengetahuan islam langsung dari tanah Arab, bukan Malabar atau India maupun
Persia (Iran).
6.
Orang
mengemukakkan alasan, bahwa pengaruh India dapat dibuktikan pada batu-batu
nisan kuburan-kuburan tua di Gresik dan Pasai. Jika orang islam di Indonesia
membeli batu nisan di Gujarat karena bagus bikinannya, bukanlah berarti karena
mereka mempelajari islam di sana.
7.
Orang
mengemukakan, bahwa mistik (tasawuf) India dan Persia sangat besar pengaruhnya
di Indonesia, oleh karena itu islam di sini lain dari pada yang di tanah Arab.
Menurut Hamka, jika dipelajari riwayat perkembangan tasawuf seluruhnya tidak
bisa dikatakan, bahwa islam Indonesia saja yang lain coraknya dari pada islam
di termpat lain, melaikan corak berfikir seluruh dunia islam pada waktu itu,
baik di Asir Tenggara atau tanah Arab, Syam, Baghdad, Mesir, India, Persia dan
Indonesia semuanya adalah corak tasawuf yang sebagian besar telah terlepas atau
menyeleweng sari ajaran Nabi Muhammad. Oleh karena itu tidak tepat dikarakan
jika islam Indonesia jadi lain dari aslinya karena pengaruh India dan Persia.
Inilah pernyataan panjang Hamka, namun jika kita baca dengan
seksama, ukuran masuknya islam ke Indonesia dalam pandangan Hamka adalah
lahirnya kerajaan-kerajaan islam di Indonesia.
Padahal jika kita baca pernyataan K.H. Siradjuddin Abbas dalam
bukunya Sejarah dan keagungan Madzhab Syafi‟I, menyatakan bahwa masuknya islam
ke Indonesia itu sejak awal islam. Siradjuddin Abbas melanjutkan bahwa yang
harus diketahui pertama adalah jauh-jauh hari sebelum islam lahir, orang-orang
Persia dan India sudah banyak berada di Indonesia, khususnya di daerah-daerah
pantai route perjalanan dagang antara Persia dan India dengan Tiongkok (Cina).
Route itu adalah Persia – Gujarat Malabar (pantai India sebelah
Barat), Ceylon – Koromandel (pantai India sebelah Timur) samudera Pasai (Aceh
Utara) Perlak (Sumatera Timur), Malaka (Semenanjung Malaya) Kamboja (Indo Cina)
dan Kanton (Tiongkok).
Mereka orang-orang Persia itu tinggal di pelabuhanpelabuhan
menyambut persinggahan orang-orangnya yang datang berniaga (berdagang) melalui
daerah itu menuju Tiongkok.
Masih menurut Abbas, kalau kita lihat peta bumi dewasa ini
ternyatalah bahwa daerah-daerah yang kita sebutkan itu adalah daerah-daerah
pantai yang mesti dilalui kapal-kapal layar menuju Tiongkok.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, daerah Cina sudah maju dan
terkenal sampai ke daerah Arab, sehingga Nabi pernah mengatakan utlub al-ilma
wa lau bi sin (carilah ilmu walaupun sampai kenegeri Cina/Tiongkok).
Pada tahun 17 Hijriyah, kaum muslimin di bawah pimpinan Khalifah
Nabi yang ke dua yakni Sayyidina Umar bin Khatab menguasai Persia, sesudah
mengadakan pertempuran di Qadisiyyah dan Madain. Orang-orang Persia sesudah itu
berbondong-bondong masuk islam. Hal ini berpengaruh terhadap orang-orang Persia
yang tinggal di pantai Pasai dan Perlak, sehingga mereka menyesuaikan diri
mereka dengan situasi yang terjadi di negeri mereka dan berbondong-bondong pula
masuk islam.
Mengenai siapa awal pembawa islam ke Nusantara, kalau kita melihat
historiografi lokal ternyata islam dibawa ke Nusantara kebanyakan oleh para
penguasa dengan maksud ingin menyebarkan islam, hal ini bisa kita baca dalam
Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah
1350), seorang Syaik Ismail datang dengan kapal dari Mekah via Malabar
ke Pasai- di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk islam.
Hingga akhirnya Merah Silau memakai gelar Malikussolih.yang wafat
pada 698/1297. Seabad kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu
(ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz
seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk islam penguasa itu, Parameswara,
mengambil nama dan gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya,
Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis setelah 1630), juga dalam historiografi
dari aceh memberikan informasi bahwa nenekmoyang sultan Aceh adalah seorang
Arab bermana Syaikh Jamalul ala, yang dikirim sultan Utsmani untuk mengislamkan
penduduk aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya mengatakan, bahwa islam
diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syaikh Abdullah Arif
sekitar 506/1111.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan pertama, teori yang paling
kuat Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, islam dibawa oleh para
profesional yang khusus menyebarkan islam; ketiga, yang mla-mula masuk islam
adalah penguasa; keempat, kebanyakan para penyebar islam masuk ke Nusantara
pada abad ke-12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema yang terakhir itu, seperti
dibahas di depan, mungkin benar bahwa islam sudah diperkenalkan ke dan ada di
Nusantara pada abadabad pertama Hijriyyah, sebagaimana dipegang oleh Arnold dan
dipegang oleh sarjana Indonesia-Malaysia diantaranya adalah KH. Siradjuddin
Abbas, tetapi hanyalah setelah abad abad ke-12 pengaruh islam kelihatan lebih
nyata. Karena itu, proses islamisasi
tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 danke-16. Itulah pernyataan
Azra dalam bukunya.
Selanjutnya, mengenai penyebaran islam di daerah Jawa menurut Azra
mayoritas sarjana bersepakat bahwa penyebar pertama islam di Jawa adalah
Maulana Malik Ibrahim, ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir
utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Hindu-Budha Majapahit,
Vikramavarddhana (berkuasa 788833/1386-1429) agar masuk islam. Tetapi
kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang da‟i Arab di
Campa, islam memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai
peran menetukan pemimpin Wali Songo dengan gelar Sunan Ampel. Adalah di Ampel
ia mendirikan sebuah pusat keilmuan
islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syaikh
Nuruddin Ibrahim bin Maulana Izrail yang kemudian dikenal dengan julukan Sunan
Gunung Jati, namun dalam informasi yang lain yang lebih masyhur nama asli dari
Sunan Gunung Jati adalah Syaikh Syarif
Hidayatullah yang menurut sebagian sejarawan beliau adalah keturunan Arab, lalu
leluhurnya mendirikan kerajaan Aceh selanjutnya beliau menjadi menantu dari
Sultan Trenggono penguasa kesultanan Demak. Ia belakangan menampakan diri di
kesultanan Cirebon. Seorang sayyid terkenal laindi Jawa adalah Maulana Ishaq
yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa
Timur, masuk islam.
2. Penyebaran awal Ahlusunnah wal Jama’ah di Indonesia
Sebelum mengurai sejarah awal ASWAJA perlu kiranya kita menampilkan
analisis Gusdur dalam bukunya Menggerakan Tradisi; esai-esai Pesantrenyang
diterbitkan oleh LKiS. Gusdur menyatakan bahwa tradisi keilmuan di Pesantren
khususnya dan Indonesia pada umumnyaitu bersumber pada dua gelombang.
Satu,gelombang ketika islam masuk ke Indonesia dengan nuansa fikih-sufistik,
masa ini sebelum abad ke 18/19. Kedua, gelombangsetelah abad ke 18/19, maka
terjadi perubahan secara berangsur-angsur. Akibat dibukanya
perkebunan-perkebunan tebu, kopi, tembakau yang luas di beberapa daerah. Pada
masa ini terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan Nusantara untuk
belajar di Timur Tengah dan akhirnya mereka
menghasilkan korps ulama yang tangguh yang mendalami ilmu-ilmu agama di
Semenanjung Arabia, terutama di Mekah. Lahirlah ulamaulama besar seperti Kyai
Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Termas, Kyai Abdul Ghani Bima, Kyai Arsyad Banjar,
Kyai Abdus Shomad Palembang, Kyai Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy‟ari, dan
deretan ulama lain yang tidak terputusputus sampai hari ini. Gusdur
menambahkan, mereka ini membawakan orientasi baru pada manifestasi keilmuan di
lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fikih secara tuntas.
Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan
kajian terhadap kitab fikih yang besar-besar, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab
yang tuntas, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan tidak lupa juga tentunya
ilmu-ilmu akhlaq.
Selanjutnya marilah kita simak sejarah awal ASWAJA abad ke-17.
Diawali dari masuknya islam ke Indonesia yang di bawa oleh para da‟ITimur
Tengah sekitar abad ke-12, kemudian dakwah islamiyyah diteruskan oleh ulama-ulama bumi putra.
Mereka mempelajari islam dari para da‟i Timur Tengah yang datang ke Indonesia,
dan sekitar abad ke 17 mereka langsung mempelajari islam di pusat islam yakni
haramayn (Mekah, Madinah).Menurut Azra,di antara ulama Indonesia yang belajar
di Haramayn pada masa ini adalah Nuruddin ar-Raniri (w. 1068 H / 1658 M), Abdul Rauf AsSinkili (1024-1105 H / 1615-1693
M) dan Muhammad Yusuf Al-Maqossari (1037-1111 H / 1627-1699 M). Mereka
membangun jaringan ulama Indonesia-Timur Tengah, sehingga banyak guru-guru dan
murid-murid mereka berasal dari berbagai pelosok dunia, bahkan dari Afrika.
Ajaran yang paling inti dari mereka adalah kembali kepada ortodoksi Sunni
terutama menyangkut keselarasan antara syariat dan tasawwuf.
Kemudian pada abad ke-18 islam Indonesia disegarkan kembali oleh
Al-Falimbani beserta ulama palembang lainnya. Nama lengkap Al-Falimbani adalah
Abdussomad Al-Falimbani lahir tahun 1116 H / 1704 M dan menurut Al-Baythar
AlFalimbani meninggal tahun 1200 H / 1789 M, namun menurut menurut Azra bahwa
kemungkinan Al-Falimbani meninggal itu sekitar tahun 1203 H / 1789 M. Selain
Al-Falimbani juga ada Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812
M), seorang ulama yang paling terkenal dari Kalimantan. Muhammad Arsyad
mengambil langkah penting untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan
jalan memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan Banjar.
Selanjutnya pada abad ke-19, islam Ahlusunnah wal Jama‟ah Indonesia
menemui momentumnya. Di antara ulama yang menjadi pengawal Islam Ahlusunnah wal
Jama‟ah pada masa ini adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875 M), seorang
ulama terkemuka yang lahir di Sambas, Kalimantan Barat, sejak masa mudanya
sudah menunjukan semangat menggebu-gebu untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman,
sehingga beliau berketetapan hati untuk bermukim lebih lama di Makkah
al-Mukarromah. Pasalnya iklim politik di Nusantara waktu itutidak kondusif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.Syakh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh
sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar, “Qodiriyah wa Naqsabandiyyah”.
Tarekat Qodariyyah digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir bin
Abi Shaleh Zangi Dost Al-Jailani (w. 1166 M) yang mengacu pada tradisi madzhab Iraqi yang dibangun oleh
Imam Al-Junaidi. Sementara Tarekat
Naqsabandiyyah dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Bahauddin Al-Uwaisyi Al-Bukhori AnNaqsabandi (w. 1389
M) yang didasarkan pada tradisi Khurasani yang dipelopori oleh Al-Bushtomi.
Kedua jenis tarekat inilah yang dengan briliyan diramu dan diracik oleh Syaikh
Khatib Sambas dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal dikalangan umat
islam sekarang ini. Kitabnya Fathul Arifin, menunjukan integritas keilmuan
Syaikh Ahmad Khatib Sambas di lingkungan
masyarakat islam. Tarekat Khatib Sambas diamalkan oleh masyarakat islam
dibelahan dunia, terutama dinegara-negara yang bermadzhab syafi‟i dan
bertasawuf ala Al-Bustami dan
Al-Junaidi.
Pelanjut tradisi ASWAJA kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi
Banten (1813-1897 M). Dilahirkan di
daerah Tanara, Banten. An-Nawawi menetap di Mekah untuk selamanya, pada tahun
1855 ia menjadi seorang Jawi yang terkenal, bahkan menurut Kyai Said beliau
mencapai derajat “Mujtahid Madzhab”. Ia belajar kepada guru-guru di Haramain,
di antara guru-gurnya adalah Syaikh Ahmad An-Nahrowi, Syaikh Sayyid Ahmad
Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan dan Syaikh Muhammad Khatib
Al-Hanbali. Beliau telah menulis
sejumlah kitab keagamaan yang hingga kini
masih digunakan di lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri islam lainnya. Syaikh Nawawi merupakan wujud dari geliat dan
pergumulan islam lokal yang lahir di tengah keterbatasan Nusantara. Karya beliau lebih dari seratus
judul dalam berbagai bidang baik berupa matan maupun syarah atau pun hasyiah.
Ada banyak murid beliau di berbagai penjuru dunia terutama yang dari Indonesia.
Penerus ASWAJA berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919 M).
Ahli hadits ini merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas
dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab Manhaju dzawi nadzrI, sebuah kitab metodologi
autentisitas hadits (ulumul hadits) yang hingga kini diajarkan di Universitas
Al-Azhar, Mesir. Buku ini merupakan komentar atas karya Imam Abdurrahman
As-Suyuthi (w. 911 H) Mandzumat ilmil Atsar. Selain Mahfudz Termas, ulama
tersohor lainnya yang meneruskan tradisi ASWAJA adalah Kyai Kholil Bangkalan
(1819-1925 M). Beliau adalah ahli
gramatika Arab dan guru dari K.H. Hasyim Asy‟ari. Meskipun dari sisi pemikiran
tidak cukup dikenal, Kyai Kholil Bangkalan berhasil mencapai puncak popularitas
dan karisma sehingga menjadi rujukan ulama Jawa pada masanya. Ulama periode
berikutnya adalah Syaikh Ihsan Muhammad
Dahlan orang Jampes (1901-1952 M), ulama
asal Kediri ini yang intens mendalami
tasawuf. Dia mengarang kitabSirajut-Thalibin, sebuah komentar cukup luas atas
kitab Minhajut Abidin karya Al-Ghozali, walaupun kitab ini adalah syarah dari
karya Al-Ghozali tapi Kyai Ihsan tidak kehilangan kehilangan karakteristik
individunya sebagai seorang ulama. Kitab ini menjadi penting di beberapa negara
berpenduduk Muslim, tidak terkecuali di komunitas Al-Azhar Mesir dan beberapa
negara di Afrika Barat.
3. Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA) abad ke-20 dan 21
Dalam pembacaan Hadlrotussyaikh Hasyim Asy‟ari terhadap realitas
keagamaan di Jawa waktu itu, bahwa umat islam di daerah Jawa sejak zaman dulu
telah sepakat dan menyatu dalam pandangan keagama‟an. Di bidang fikih mereka
berpegang kepada madzhab Imam Syafi‟i, di bidang ushuluddin berpegang kepada
madzhab Abul Hasan Al-Asy‟ari dan di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu
Hamid AlGhozali dan Abul Hasan Asy‟Syadili. Kemudian pada tahun 1330 H timbul
berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran dan pertikaian
di kalangan para pemimpin. Di antara mereka ada yang berafiliasi pada kelompok
Salafiyyin yang memegang teguh tradisi para tokoh terdahulu. Mereka bermadzhab
kepada satu madzhab tertentu dan berpegang teguh kepada kitab-kitab mu‟tabar,
dan di antara mereka juga ada yang berafiliasi kepada ahli bid‟ah. Di antara
ahli bid‟ah yang muncul pada tahun 1330 H adalah:
1.
Pengikut
Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abdul, beliau adalah para pembaharu Mesir
yang terpengaruh oleh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi dan Ibnu
Taimiyyah serta dua murid Ibnu Taimiyyah yakni Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
2.
Kelompok
Ibahiyyun, yakni golongan yang memperkenankan untuk melakukan apa saja yang
disukai, mereka berkata: “Sesungguhnya seorang hamba, ketika ia telah sampai
kepada puncak rasa cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan dari sifat
lupa, dan dia telah memilih iman dari pada kufur dan kekufuran, maka gugur dan
terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan larangan.
3.
Aliran
Syiah, mereka adalah golongan yang mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat
Nabi, sehingga faham seperti itu harus dijauhi oleh segenap umat muslim,
khususnya di Jawa.
4.
Aliran
Tanasukhil Arwah, kelompok ini mengaku sebagai titisan ruh-ruh yang selalu
berpindah-pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang ke jasad seseorang
yang lain baik sejenis maupun berlainan jenis.
5.
Hulul
dan ittihad, menurut Syaikh Hasyim Asy‟ari mereka adalah orang yang menjalankan
tasawufnya dengan kebodohan, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT adalah wujud
yang mutlak. Dan manusia tidak berwujud sama sekali. Hampir sepaham dengan
konsep di atas ialah faham Wihdatul Wujud. Serta
golongan-golongan yang lain yang beredar waktu itu di Tanah Jawa.
Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa karya Syaikh Hasyim
Asy‟ari yang 19 kitab(sebagaimana di edit oleh cucu beliau yakni Gus Ishom/K.H.
Ishomuddin Hadiq)itu merupakan jawaban serta respon dari golongan-golongan yang dianggap menyimpang
dari ajaran islam Ahlusunnah wal Jama‟ah di zamannya. Namun Syaikh Hasyim
Asy‟ari dalam mempertahankan ajaran Ahlusunnah wal Jama‟ah tidak hanya secara
kultural saja seperti membangun pesantren dan membuat karya tulis, tetapi
perjuangan beliau juga lewat jalan struktur, yakni dengan mendirikan suatu
komunitas ulama yang belakangan disebut dengan nama Nahdlotul Ulama (NU), hal
ini terbukti ketika NU didirikan oleh Syaikh Hasyim Asy‟ari bersama ulama
lainnya pada 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M
merupakan respon dari penguasa Hijaz waktu itu yang mengadakan Muktamar Khilafah,
yang di antara tujuan Muktamar itu adalah penguasa baru Hijaz (yakni Ibnu Saud
yang merebut daerah Hijaz dari Syarif Husain) berambisi untuk menggantikan
kedudukan daulan Utsmaniyyah sebagai pusat kekuasaan islam dengan Saudi Arabia
dan penguasa Saudi sebagai khalifahnya. Tapi ulama NU waktu itu melihat lebih
jauh, ternyata tujuan Muktamar Khilafah bukan hanyauntuk pengangkatan Khalifah
saja, tapi ada proyek terselubung di dalamnya yaitu agenda Wahabisme
Internasional yang intinya supaya menghentikan bermadzhab, jiarah kubur, tahlil
dan lain-lain. Dan Alhamdulillah usaha ulama kampung itu (maksudnya utusan
komite Hijaz yang diwakili oleh K.H. Wahab Hasbullah, Syaikh Ghanaim, K.H.M.
Dahlan) berhasil menggagalkan proyek internasional yang diselenggarakan oleh
penguasa Saudi. Sekarang kita bisa menikmati berbagai literatur perintis
madzhab juga kita bisa leluasa membaca solawat dengan keras, baca barjanjian
tiap malam jum‟at, itu semua berkat jasa
para pendahulu kita yang dengan gigih berdebat diforum Internasional.
Andaikan proyek Muktamar Khilafah sukses niscaya umat islam Indonesia bahkan
umat islam dunia akan dipaksa untuk
memegang satu ajaran, yakni ajarannya wahabi.
Selanjutnya di abad dua satu atau abad ke lima belasini kita
menghadapi tantangan yang lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Kalau
abad ke-2/3 Hijriyah ASWAJA menghadapi kelompok-kelompok seperti Muktazilah,
Jabariyah, Qodariyah, Jahamiyyah, dan lain-lain, atau Abad ke 4/5 Hijriyyah
AlGhozali menghadapi Falasifah, Mutasowwufah, Bathiniyyah dan Ta‟limiyyah,
kemudian Syaikh Hasyim Asy‟ari pada abad ke 13/14 menghadapi Wahabi, Ibahiyyun,
Hulul, Ittihad dan Wahdatul Wujud, namun yang harus dihadapi oleh ASWAJA
sekarang adalah masalah yang lebih berat dan lebih besar, karena scope (medan)
garapannya pun adalah dunia. Maka dari itu, saat ini ASWAJA diarahkan untuk
bagaimana menyikapi liberalisme politik dan kapitalisme ekonomi dari kelompok
Barat serta bagaimana menghadapi sosialisme dan komunisme Timur, ditambah lagi
menyikapi kelompok islam garis keras yang makin marak di dunia pada umunnya dan
di Indonesia pada khususnya, selain itu juga dakwah wahabisme internasional
semakin gencar dan gerakan-gerakan syi‟isme. Belum lagi masalah kemiskinan,
globalisasi, dekadensi, krisis ekologis, modernisme dan lain-lain.Yang mana
semua itu harus segera dicarikan solusinya dengan tepat.
Di sinilah perlunya kita mengembangkan ASWAJA secara paradigmatic
dan metodologis, agar ASWAJA jangan hanya kumpulan prodak sejarah belaka, tapi
juga ASWAJA saat ini mampu menciptakan sejarahnya sendiri yang rahmatan lil
alamin.
C. DEFINISI ASWAJA
Untuk lebih spesifik mengenai definisi ASWAJA kami akan menampilkan
definisi umum dan khusus yang tertuang dalam kitab
Dr. Sayyid Muhammad Aqil Al-Mahdili Ahlusunnah
wal Jama‟ah Madkhal wa Dirasah yang diterjemahkan oleh saya sendiri menjadi
Ahlusunnah wal Jama‟ah; suatu pengantar. Setelah mengkaji beberapa referensi
yang ada mengenai makna istilah ahlusunnah waljamaah, maka jelaslah bahwa
definisi ahlusunnah waljamaah terbagi dua. (1) Definisi Umum, (2) Definisi
Khusus.
Definisi umum (general/global)
Ahlusunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti jejak langkah Rasulullah
SAW dan Sahabatnya RA, dalam ke-Islaman, keImanan, ke-Ihsanan, atau dengan kata
lain dalam Aqidah, Syariah dan Hakikat (Tasawuf dan Akhlaq).
Definisi umum di atas berdasarkan sebuah hadits (sabda)Nabi SAW
yang mulia: dari Abdullah Ibn Umar beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Akan terjadi kepada umatku sebagaimana yang terjadi kepada Bani
Israil bagaikan sepasang sepatu (maksudnya saking samanya-peny)sampai-sampai di
Bani Israil ada yang menggauli Ibunya secara terang-terangan dan umatkupun
nanti akan ada yang berbuat demikian.
Bahwa Bani Israil berpecah menjadi 72 sekte (millah) dan umatku
akan berpecah menjadi 73 sekte (millah), semuanya masuk neraka kecuali satu
sekte saja. Ibn Umar bertanya “Siapa itu
Wahai Rasulullah ? ”Kemudian
Rasul menjawab“ orang-orang yang mengikuti ku dan sahabatku”. HR. Al-Turmudzi.
Pernyataan Rasulullah Ma ana
alahi wa ashabi (orang-orang yang mengikutiku dan sahabatku) mengandung
pengertian Aqidah, Syariah dan Hakikat, yang mana ketiganya ini maksud dari
kata al-din dalam sebuah hadits syarif :
Umar Ibn Khatab Berkata,
“ketika kami dudukduduk bersama Rasulullah SAW, suatu ketika datang kepada kami
seorang lelaki dengan pakaian sangat putih dan rambutnya hitam sekali, tidak
terlihat bekas perjalanan, tidak ada seorangpun dari kami yang mengenalnya
sehingga dia duduk dengan Rasulullah, kemudian menyandarkan lututnya kepada
lutut Rasul lalu menyimpan kedua tangannya di atas paha Rasul, kemudian dia
berkata “ Wahai Muhammad apa itu Islam?”, Rasul menjawab “ Islam adalah
bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mengerjakan solaht,
membayar zakat puasa di bulan Ramadhan, dan naik haji baigi orang yang mampu di
perjalanannya”, lalu dia berujar “kamu benar”, Umar berkata “ aku kaget dia
yang bertanya dia juga yang membenarkanya”, lalu dia berkata lagi “ apa itu iman?” dan Rasul menjawab “
beriman kepada Allah, Malaikatnya, Kitabnya, Rasulnya, hari Akhir dan
ketentuanya (al-qodr) yang baik maupun yang buruk” dia berujar lagi “kamu
benar” kemudian dia bertanya lagi “apa itu ihsan?” Rasul menjawab “beribadah
kepada Allah seolah-olah kau melihatnya, apabila kau tidak bisa melihatnya maka
Allah selalu melihatmu” dia bertanya lagi “apa itu Qiyamat?” Rasul menjawab
“yang bertanya lebih tahu dari pada yang ditanya?” lalu dia berujar “sebautkan
ciri-cirinya” lalu Rasul menjawab “Hamba sahayamelahirkan tuannya, dan kau
melihat orang tak beralas kaki, pakaiannya compang-camping, miskin dan
penggembala kambing, mereka berlomba-lomba meninggikan bangunan”. Kemudian
orang tersebut beranjak pergi sedangkan aku diam cukup lama, kemudian
Nabi berkata kepadaku “wahai Umar, tahukan kamu siapa dia?” aku
menjawab “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui” Nabi SAW bersabda “Dia adalah
Jibril, datang kepada-mu untuk mengajarkan tentang agama-mu”
Prof. Rohil Said Hawa
(semoga Allah mengampuninya) berkata bahwa maksud kata Al-Jama‟ah dalam istilah syaari adalah sesuatu yang
dibawa oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya, maka dari sinilah diketemukan suatu
istilah(maksudnya istilah Ahlusunnah wal Jamaah). Maka menurut
Al-Mahdili,pernyataan ini menguatkan pendapatku tentang definisi umum di atas.
Definisi umum di atas juga berdasar kepada sebuah hadits Rasulullah
SAW, dalam sabdanya:
Auf Ibn Malik berkata, Rasul
SAW Bersabda “Telah berpecah-belah umat Yahudi menjadi 71 golongan, satu
golongan masuk surga sedangkan 70 golongan masuk neraka, kemudian umta Nasroni
terpecah-belah menjadi 72 golongan 71 masuk neraka sedangkan yang satu golongan
masuk surga. Dan demi dzat yang nasf Muhammad berada dalam genggamannya yakin
akan terpecahbelah umatku menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan 72
lagi masuk neraka, dikatakan “ siapa mereka wahai Rasulullah?” Rasul
menjawab Al-Jama‟ah.
Banyak Ulama yang besungguh-sungguh menjelaskan dan menulis kitab
tentang ahlusunnah waljamaan diantaranya, (Pemikir besar islam dalam bidang
ushul) yang sangat mumpuni dalam bidang ini dia adalah Abdul Qohir Ibn Tohir
Ibn Mumahhad Al-Bagdadi Al-Isfiraini Al-Tamimi yang meninggal tahun 429 H,
telah mensfesifikan sebuah kajian tentang Ahlusunnah waljamaah dalam
kitabnya yang terkenal “Al-Farqu baina
al-Firoq” kitab ini merupakan kitab referensi yang paling otoritatif dalam
kajian Al-Firaq Al-Islamiyyah (sekte-sekte dalam islam).
Al-Bagdadi (semoga Allah
merahmatinya)dalam AlFaqu bainal Firaqberpendapat bahwa yang dimaksud dengan
Ahlusunnah waljamaah adalah mereka yang berpegang terhadap apa-apa yang dibawa
oleh Rasulullah SAW dan semua Sahabatnya RA baik dalam Aqidah, Syariah dan
Akhlaq Tasawwu. Sebagaimana ungkapannya;
Hari ini aku tidak
menemukan dari golongan umat islam orang-orang yang sesuai dengan Sahabat RA
selain Ahlusunnah wal Jamaah, baik dari kalangan Fuqohanya, ahli kalamnya yang
murni, yang berlainan dengan
ajaranRafidloh, Qodariyah, Khowarij, Jahmiyyah, Nijariyyah, Musyabihah,
Al-Gullah dan Hululiyyah.
Kemudian dalam kitab
tersebut Al-Bagdadi menjelaskan kelompok-kelompok orang yang termasuk Ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah baik dari kalangan Ulama Aqidah, dan Imamimam Ahli
Fiqih, serta Ulama Hadits, tafsir dan ahli zuhud sufiyyah, juga Ulama ahli
bahasa (ahli lugot) serta orang-orang yang mengikuti aqidah ahlusunnah wal jamaah.
Adapun definisi khusus
(spesifik) Ahl Sunnah wa alJama‟ah : adalah orang-orang yang berkeyakinan
sebagaimana keyakinannya Imam Abu Hasan Al-Asy‟ari dan Abu Mansur Al-Ma‟turidi
serta para penerusnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Jalal Muhammad Abdul Hamid
Musa bahwa istilah Ahlusunnah wal Jama‟ah merupakan istilah yang ada dalam ilmu
kalam, yang memiliki makna khusus yakni Para pengikut Al-Asy‟ari (Asya‟iroh).
Oleh karena itu aku menemukan sebagian pendapat peneliti dalam bidang
Sekte-sekte dalam Islam (al-firaq al-islamiyyah) yang menyatakan bahwa istilah
Ahlusunnah wal Jamaah sepadan dengan istilah Al-Asya‟iroh. Berdasarkan pemikiran khusus di atas maka
jelaslah dalam sejarah Ahlusunnahwal Jama‟ah di atas pada awalnya diperuntukan
bagi kelompok orang yang mengikuti Al-Asy‟ari.
Definisi khusus ini pada hakikatnya tidak lain merupakan bagian dari
definisi umum Ahlisunnah wal Jamaah, karena Al-Asyaa‟iroh (pengikut al-Asy‟ari)
atau Ahlusunnah wal Jama‟ah (dalam arti khusus) menjalankan ajaran-ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya RA dalam Aqidah. Adapun penamaan Al-Asya‟iroh dengan nama
Ahlusunnah wal Jama‟ah merupakan menamai sebagian dengan nama keseluruhan (min
bab tasmiyyat al-juz bi al-ismi al-kull) (hal ini merupakan kajian ilmu bayan
tentang majaz mursal), begitu juga penamaan Ahli Hadits dengan nama Ahlusunnah
wal Jama‟ah.
Ada sebagian orang yang mempersempit cakupan Ahlusunnah wal Jama‟ah
hanya kepada Ahli Hadits saja, alasannya karena mereka (ahli hadits) merupakan
orang yang paling mengetahui
perkataan-perkataan dan perbuatanperbuatan Rasulullah SAW, dan mereka
juga orang yang paling mumpuni dalam membedakan hadits yang sohih dengan yang
hadits tidak sohih, serta para imam mereka sangat faham terhadap hadits Rasul,
juga sangat faham terhadap maknamaknanya. Selain itumereka juga mengikuti serta
membenarkan, mengamalkan dan mencintai hadits Rasulullah, mereka akan selalu
loyal kepada pemegang hadits dan memusuhi pengingkarnya.
Orang yang berpendapat seperti di atas (ahlusunnah hanya ahli
hadits saja), berusaha untuk mempersempit sesuatu yang sebenarnya luas
(memperkecil sesuatu sebenarnya besar.), sebab istilah Ahl Sunnah wa Al-Jama‟ah
meliputi Ulama-ulama islam baik dalam aqidah, syariah maupun hakikat serta
Ulama tafsir, dintaranya Imam Al-Razi, Imam AlTobari, Al-Alusi, Al-Qurtubi dan
lain-lain.
Dari penjelasan ini,
jelaslah bahwa metode paling baik dalam memahami makna istilah Ahl Sunnah wa
al-Jama‟ah adalah metodenya Al-Bagdadi dalam kitabnya Al-Farq baina Al-Firaq.
Al-Bagdadi telah memasukan delapan golongan manusia dalam deretan Ahl Sunnah wa
Al-Jama‟ah, mereka adalah ulama aqidah, ahli fiqih, ahli hadits, ahli tafsir,
ahli tasawuf, ulama ahli bahasa, sastrawan (budayawan), dan tentara-tentara
yang berada di perbatasan wilayah muslimin untuk menghadapi orang kafir serta
penduduk negeri yang disana terdapat syiar Ahlusunnah.
Kesimpulan Ahlusunnah wal
Jama‟ah adalah setiap orang yang berpegang terhadap ajaran yang dibawa oleh
Rasul SAW serta Sahabatnya RA, baik dalam Aqidah, Syariah serta Tasawwuf,
kemudian mereka diklasifikasikan menjadi dua kelompok, (1) kelompok Ulama,
(2).kelompok Awam. Kelompok ulama Ahlusunnah wal Jama‟ah adalah ulamaulama yang
telah disebutkan oleh Al-Bagdadi, sedangkan kelompok awam adalah mereka yang
beri‟tiqad sebagaimana i‟tiqadnya Ahlusunnah
wal Jama‟ah dan beribadah sebagaimana ibadahnya Ahlusunnah wal Jama‟ah
serta berakhlaq sebagaimana akhlaqnya Ahlusunnah wal Jama‟ah, dan bertasawwuf
sebagaimana tasawufnya Ahlusunnah wal Jama‟ah.
D. AJARAN ASWAJA
1. ASWAJA sebagai Madzhab
Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari dalam kitabnyaRisalah Ahlusunnah
waljamaah menyatakan bahwa ASWAJA adalah
attoriqotul mardiyah al maslukah salakaha rosulullah saw waman tabiahu ( aliran
yang diridoi yang dijalankan oleh rosul dan pengikutnya), kemudian dalam Qonun
Asasi NU, beliau menyatakan bahwa Aswaja dalam beraqidah mengikuri al-Asy‟ari
dan al-Ma‟turidi, dalam ber-fiqih mengikuti madzahibul arba‟ah yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi‟I dan Hambali,
dalam ber-tasawuf mengikuti Junaedi Al-Bagdadi dan Al-Gozali. Pernyataan mbah
Hasim diatas sejalan dengan pernyataan ulama-ulama Mutaakhirin (yakni ulama
yang hidup sesudah tahun lima ratus Hijriyyah).
Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa pilihan jatuh kepada
madzhab-madzhab di atas, dalam arti apa alasan ulama Aswaja menetapkan pilihan
pada rentetan ulama di atas (tauhid, fiqih, tasawuf). dalam tulisan ini penulis
akan mencoba menyajikan alasan-alasan yang dibuat oleh para ulama Aswaja
mengenai pilihan mereka tentang bermadzhab.
Pilihan Aswaja dalam menentukan siapa yang menjadi rujukan dalam
bertauhid, dan ternyata pilihan jatuh kepada Imam Abu Hasan Ali Al-Asy‟ari dan
Abu Mansur AlMa‟turidi, kenapa harus mereka berdua? Karena dalam sejarahnya
trek recort mereka sesuai dengan nilai-nilai Ahlusunnah wal jama‟ah. Adapun yang menjadi rujukan ulama Nusantara
khususnya NU dalam memilih Al-Asy‟ari dan Al-Ma‟turidi itu karena tercantum
dalam kitab Ittihafu Saadatil Muttaqin Bisyarhi Asrori Ihya‟ Ulumuddin yang
dikarang oleh Sayyid Muhammad Murtadha Al-Zabidi, dalam kitab itu disebutkan
idza utliqo ahlu sunnah wal jama‟ah falmurodu alasyairoh wal ma‟turidiyyah
(jika disebutkan Ahlusunnah wal jama‟ah maka yang dimaksud adalah pengikut
Asy‟ari dan Ma‟turidi).
Selanjutnya mengenai pilihan berfiqih kepada madzhab yang empat
(madzahibul arba‟ah), padahal dalam sejarah pernah lahir sekitar 11 ulama
pembangun madzhab fiqih menurut Habib Alawi bin Ahmad As-Segaf pengarang kitab
Fawaidul Makiyyah, sedangkan menurut Mun‟im Sirri dalam bukunya Sejarah Fiqih
islam; Sebuah pengantar itu ada 12 ulama mujtahid mutlaq dalam bidang
fiqih.
Habib Alawi bin Ahmad As-Segaf menerangkan bahwa yang menjadi
alasan kita harus berpegang kepada madzhab yang empat itu karena
madzhab-madzhab selain yang empat tidak terjaga dari
penyelewengan-penyelewengan, berbeda dengan madzhab yang empat. Selanjutnya
Habib Alawi memberikan contoh mengenai madzhab Zaidiyyah yang dibangun oleh
Imam Zaid bin Ali, beliau adalah seorang Imam yang hebat dan ilmunya dapat
dipercaya namun para pengikutnya tidak mengerahkan kemampuan untuk menjaga
madzhab itu sehingga hadzhab Zaidiyyah terindikasi penyimpangan-penyimpangan.
Selain itu juga banyak pendapat para pembangun madzhab tidak terbukukan oleh
muridmuridnya dan alasan yang lain karena tidak ada pengikut.
Namun K.H. Hamdun Ahmad memiliki pandangan lain tentang ini, beliau
berpendapat bahwa yang menyebabkan hanyya empat saja yang diakui itu karena
yang empat dipakai oleh pemerintah, sebagai contoh madzhab Maliki dipakai oleh
penguasa Hijaz, madzhab Hanafi dipakai oleh dinasti Abaasiyyah pada masa Harun
Rasyid, bahkan dua murid Abu Hnifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad As-Syaibani
menjadi Qodhil Qudhat (Hakim Agung) pada masa Harun Rasyid, madzhab Hanbali
juga dipakai oleh penguasa dinasti Bani Abassiyah pada waktu khalifah
Al-Mutawakkil Allawloh berkuasa, sedangkan madzhab Syafi‟I dipakai oleh
penguasa mesir pasca Syiah yakni dinasti Ayubiyyah dengan sultannya Solahuddin
Al-Ayubi. Jadi, taqlid kepada yang empat itu dimulai oleh pemerintah.
Kemudian dalam bertasawuf, Ahlusunnah wal Jama‟ah merujuk kepada dua
ulaama besar, yakni Abu AL-Qosim Junaid Al-Bagdadi, dan Abu Hamid bin Mumammad
bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.Al-Bagdadi meninggal pada tahun 297 H/910
M di Iraq. Menurut Imam Al-Qusyairi dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyyah
beliau adalah pemimpin serta imamnya ahli tasawwuf, maka pantaslah Imam Ibrahim
Al-Laqoni dalam Jauhar Tauhid menyebut beliau sebagai kadza Abul Qosim Hudatul
ummah, dalam berfiqih beliau mengikuti madzhabnya Abu Tsur temannya Imam
Syafi‟i. AlJunaidi Al-Bagdadi ini sejaman dengan Harits Al-Muhasibi dan
Muhammad bin Ali Al-Qosob. Yang kedua adalah Imam Ghozali, kenapa memilih
Al-Ghazali? Saya rasa jawabannya sudah maklum karena beliau adalah Hujjatul
Islam dan karyakarya beliau juga banyak dibaca dan dipelajari di dunia islam khususnya
Indonesia, mulai dari yang paling tipis sampai yang tebal-tebal yang
berjilid-jilid. Maka menurut penulis suatu pilihan tepat para leluhur kita
menjadikan Al-Bagdadi dan AlGhazali sebagai rujukan dalam bertasawuf.
Adapun menurut Mutaqodimin rumusannya agak berbeda bisa dilihat
dalam alfarqu bainal firoq yang dikarang oleh Abdul Qohir bin Tohir al-Bagdadi
beliau hidup di paruh abad ke empat
Bisa kita saksikan bahwa Al-Bagdadi dalam alfarqu bainal firoq
menjelaskan ada 15 hal yang disepakati oleh Aswaja dan sesatlah orang yang
menyalahinya.
1.
dalam
masalah Ushuludin menetapkan substansi ilmu ada yang khusus dan ada yang umum.
2.
mengetahui
pencipta alam dan sifat-sifat dzatnya.
3.
mengetahui
kebaruan alam.
4.
mengetahui
sifat azaliayah.
5.
mengetahui
asma dan sifat Allah
6.
mengetahui
adilnya Allah serta Hukumahnya.
7.
mengetahui
Rosul-Rosul dan Nabi-Nabinya.
8.
mengetahui
Mukjizat Nabi dan Karomah Wali.
9.
mengetahui
hal yang disepakati dalam syariat islam.
10.
menetahui
Hukum amar,nahyi dan taklif.
11.
mengetahui
kepanaan selain Allah dan pertanggungjawaban manusia di hari akhir.
12.
khilafah,
imamah dan syarat pemerintahannya.
13.
mengetahui
hukum-hukum islam secara global.
14.
mengetahui
hukum-hukum wali dan stratifikasi
imamimam yang disucikan Allah.
15.
mengetahui
hukum-hukum memerang orang kufur dan ahli ahwa.
Selanjutnya kalau yang lima belas ini kita kelompokan, maka akan
terbagi menjadi empat kelompok.
1. Tentang Uluhiyyah (ketuhanan)
Tujuan kita belajar tentang tauhid uluhiyyah (tauhid ketuhanan)
agar kita meyakini Allah SWT tidak ada pesaing serta segala hal bergantung
kepada Allah SWT.
2. Tentang Nubuwwah (kenabian)
Adapun yang menjadi tujuan mengapa kita harus meyakini tauhid
nubuwwah adalah agar kita sebagai Ahlusunnah wal jama‟ah punya keyakinan bahwa
para Nabi dan Rasul adalah manusia yang terpilih yang diperintahkan untuk
menyampaikan perintah Allah SWT kepada kaumnya, namun yang penting harus
diyakini adalah Nabi Muhammad SAW merupakan
Nabi terakhir dan tidak ada lagi Nabi setelahnya.
3. Tentang Sam‟iyyah
Sam‟iyyah adalah sesuatu yang didengar dalam AlQur‟an, seperti hari
akhir, surga, neraka dll yang harus diyakini secara iman total tanpa harus
merasionalisasikannya.
4. Tentang Ma‟lumun minaddini biddoruroh
Ma‟lumun minaddini biddoruroh adalah aturan agama yang telah jelas
seperti wajibnya solat, puasa, haramnya zina, khomr, dan lain-lain
Maka barang siapa yang membangkang (mengingkari) terhadap 4 hal
di atas, dia telah dihukumi keluar dari islam dan pastinya telah
keluar dari Ahlusunnah wal Jama‟ah.
2. Golongan Ahlusunnah wal Jama’ah
Dalam kesempatan ini, perlu kiranya kita mengetahui siapa saja yang
termasuk golongan ASWAJA menurut para ahli, di sini kami akan mengutif bukunya
Dr. Sayyid Muhammad Aqil Al-Mahdili.
Al-Bagdadi telah berusaha
mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengkaji golongan (kelompok orang) yang
termasuk Ahlusunnah wal Jama‟ah, kajian ini merupakan kajian tiada duanya
(tiada bandingnya) pada masanya. Sebagaimana telah jelas bahwa mayoritas
pemikir kontemporer mengikuti metodenya Al-Bagdadi, diantarnya Prof. Muhammad
Hamzah seorang dosen di Fakultas Dakwah Islamiyyah dalam kitabnya AL-Ta‟lif
baina Al-Firaq Al-Islamiyyah diterbitkan pertama kali di Damsyiq oleh Dar
al-Qutaibah tahun 1405 H bertepatan dengan tahun 1985 M, dan Prof. Rahil Said
Hawa dalam kitannya Al-Asas fi Al-Sunnah wa Fiqhiha Al-Aqoid AlIslamiyyah
diterbitkan oleh Dar Al-Salam Al-Qohiroh tahun 1409 H bertepatan dengan tahun 1989
serta ulama yang lainnya. Golongan-golongan yang disebutkan oleh Al-Bagdadi,
ialah :
a
Golongan
ulama ahli tauhid, kenabian (nubuwwat), hukum-hukum janji Allah (wa‟d), ancaman
(wa‟id), pahala, siksa, serta syarat-syarat ijtihad, kepemimpinan (imamah) dan
pemerintahan. Dalam membahas tauhid mereka menyusuri jalan para ahli kalam yang
masih murni, yang tidak tercemar oleh golongan Tasybih, Ta‟til, juga tidak
tercemar oleh bid‟ahnya Rafidoh, Khawarij, Jahmiyah, dan kelompokkelompok sesat
lainnya. yang dimaksud golongan ulama
aqidah disini adalah ulama Asya‟iroh dan Ma‟turidiyyah, diantara ulama besar
Asya‟iroh adalah: Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyr Ishaq Ibn Salim Ibn
Ismail Ibn Abdillah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Amir Ibn Musa Al-Asy‟ari,
beliau dilahirkan di kota Basrah pada tahun 260 menurut sebagian ulama namun
menurut yang lain belau dilahirkan tahun 270 H, dan beliau meninggal tahun 330
H namun ada yang mengatakan tahun 324 H. beliau merupakan pembangun madzhab
Al-Asy‟ariy.
Abu Bakar Muhamad Ibn Al-Tayib Muhammad AlQodi yang dikenal dengan
nama Al-Baqilani atau Ibn Al-Baqilani beliau merupakan ahli kalam ternama
dikalangan Al-Asya‟iroh. Beliau terkenal dengan kemampuannya berdebat dan
mengalahkan lawan debatnya dari Syiah, Muktazilah...di jamannya AlBaqilani
merupakan orang yang paling faham mengenai masalah perikhtilafan secara umum
dan Aqidah Umat Kristen secara khusus.
Abu Mansur Abd Al-Qohir Ibn Tohir Ibn Muhammad Al-Tamimi...beliau
merupakan ahli dalam bidang ilmu fiqih, sastra(budaya), syair, nahwu, kalam dan
ushul fiqh. Imam Abu Mansur mengerahkan segenap kemampuannya untuk membela dan
memperkuat aqidah Ahlusunnah wal Jama‟ah. Bahwa Aqidah ini merupakan aqidahnya
aliran yang selamat.
Abu Al-Ma‟ali Abd Al-Malik Ibn Abd Allah Ibn Yusuf Ibn Muhammad
Al-Juwaini Al-Naisaburi (Imam AlHaromain) – (419-178 H). Dalam dirinya terpatri
sebuah hubungan antara Asy‟ariyyah sebagai madzhab kalam dan Syafi‟iyyah
sebagia madzhab fiqh, beliau sangat alim dalam ilmu fiqh, ushul fiqh dan kamal,
beliau juga merupakan gurunya Imam Al-Gozali semoga Allah merahmati mereka
berdua.
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Gozali yang dikenal dengan
sebutan Hujat Al-Islam (450-505 H) beliau ini seorang faqih, ushuliy, mutasowif
(sufi), akhlaqiy, mutakallm, filosof. Al-Gozali merupakan rujukan keilmuan pada
masanya.
b
Golongan
kedua mereka adalah Para Imam ahli fiqih dari kalangn ahlu Ro‟i maupun ahlu
Hadits, yang dalam ushuluddin mereka merupakan ulama yang berpegang teguh
terhadap madzhab murni (sofatiyyah),
pandangan mereka tentang Allah dan sifatnya yang azali, sama sekali berbeda
dengan Qodariyah, Muktazilah, mereka
juga meyakini bisa melihat Allah dengan
mata dengan menghindari tasybih dan ta‟til. mereka juga meyakini akan
kebangkitan kubur, pertanyaan kubur, serta meyakini adanya Haudh(sebuah telaga
di akherat), Sirot (jembatan untuk menyebrang ke surga), Syafa‟at, dan
diampuninya dosa selain dosa syirik.
Mereka meyakini kekalnya nikmat surga kepada penghuninya dan
kekalnya siksa neraka kepada orang kafir, mereka juga meyakini atas keimamanya
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali..Mereka membaguskan pujian kepada para Salaf
Al-Solih nya umat. Para Ahli fikih juga berpandangan akan kewajiban
mengistinbath hukum dari Al-Qur‟an, AlSunah dan Ijma‟nya Sohabat, serta bolehnya
mengusap kedua sepatu (ketika wudu) dan jatuhnya talak tiga dan haramnya nikah
mut‟ah. Dalam bernegara bernegara mereka berpendapat wajibnya mena‟ati
pemerintah selagi bukan dalam hal maksiat.
Yang termasuk kedalam golongan ini, diantaranya Ashab Malik, Syafi‟i,
Al-Auza‟i, Tsauri, Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ashabnya Abi Tsur, Ashab Ahmad Ibn Hanbal,
Ahlu Dzohir serta para ahli fikih yang memiliki Aqidah murni dalam masalah Aqliyyah dan tidak memcampur-adukan fikihnya dengan
bid‟ahnya ahli ahwa yang sesat.
c
Golongan ketiga
adalah ulama yang menguasai kaidah-kaidah kritik khobar
dan sunah (hadits) yang datang dari Nabi
SAW serta membedakan antara hadits sohih dan tidak sohih (doif, maudu). Mereka
juga mengetahui sebab-sebab Jarh wa Ta‟dil
(sebab cacatnya hadits dan mengunggulkan hadits. pen). Mereka tidak
mencampurkan ilmunya dengan sesuatu yang datang dari ahlul ahwa yang sesat.
d
Golongan
keempat adalah ulama
yang menguasai babbab dalam ilmu Sastra, Nahwu dan Sharaf, Mereka memiliki
corak pemikiran ahli tata bahasa seperti Al-Kholil, Ibn Umar Ibn Ala‟,
Sibawaih, Al-Faro‟, Al-Ahfas, Al-Asmu‟i, AlMazani, Abu Ubaid, dan imam-imah
Nahwu yang lain baik dari kufiyyin maupun bashariyyin, Mereka tidak
mencampurkan ilmunya dengan sesuatu yang datang dari bid‟ahnya Qodariyah atau
Rafidoh dan Khowarij Barangsiapa yang memiliki kecenderungan ahwa yang sesat
maka dia bukanlah bagian dari Ahlusunnah wal Jama‟ah dan ungkapannya bukan
merupakan hujjah dalam tatabahasa dan nahwu.
e
Golongan
kelima
adalah ulama yang menguasai ilmu
Qira‟at Al-Qur‟an, ilmu tafsir dan ta‟wil ayat Al-Qur‟an sebagaimana ta‟wil mainstream madzhab Ahlusunnah wal
Jama‟ah, berbeda dengan ta‟wilnya ahli ahwa yang sesat.
f
Golongan
keenam adalah ulama Zuhad Al-Sufiyah
mereka adalah orang-orang yang berkonsentrasi (absoruu), terfokus (aqsiruu), kontemplasi
(ikhtabaruu,) merenungkan
(i‟tabaruu) dan rido terhadap sesuatu yang telah digariskan
(maqdur) serta rela terhadap yang diperoleh. Mereka juga meyakini bahwa
pendengan, penglihatan dan hati (fuad), kebaikan dan keburukannya akan
dipertanyakan, dan diperhitungkan walaupun sekecil tepung dan mereka juga mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya persiapan untuk hari kiamat. Dan ucapan-ucapan mereka dalam
mengeluarkan suatu Ibarot dan Isyarot menapaki jalan ahli hadist bukan jalannya
orang-orang yang memperjual-belikan hadits.Mereka tidak beramal kebaikan karena
riya dan tidak meninggalkan amal karena malu, agamanya adalah tauhid serta
tidak menyekutukan, madzhabnya adalah berserah diri, tawakal dan rela atas
ketentuan Allah SWT.Mereka selalu Qona‟at terhadap rizki yang diberikan.
Sebagaimana Al-Qur‟an menyatakan dalam Surat Al-Hadid Ayat 21:
Dzalika fadluwlohi yu‟tihii man yasya‟ wallahu dzu fadlil adzim
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendakiNya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.
g
Golongan
ketujuh adalah orang-orang yang berada di perbatasan wilayah muslimin untuk
menolak orang kafir dan berjihad untuk melindungi umat muslim serta
mempertahankan kehormatan dan tanah air umat muslim, kemudian di tanah
perbatasan mereka menampakan (yudzhiruuna) madzhab Ahlusunnah wal Jama‟ah,
mereka merupakan orang-orang Allah SWT menurunkan ayat tentangnya, dalam Surat
AlAnkabut Ayat 6 :
Walladzina Jahadu Fiina Lanahdiyyannahun subulana, Innallaha
lama‟al muhsiniina
dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Semoga dengan keutamaan dan karunianya, Allah menambah taufik
kepada mereka.
h
Golongan
kedelapan, diantaranya mereka adalah penduduk suatu daerah yang sampai
kepadanya syiar Ahlusunnah wal Jama‟ah, berlainan dengan penduduk kampung yang
disana terlihat syiar orang-orang sesat.
Al-Bagdadi berkata, yang aku maksud dengan kelompok awam adalah
orang-orang yang meyakini kebenaran ulama Ahlusunnah wal Jama‟ah dalam masalah
keadilan Allah (aladl), tauhid, janji dan ancaman Allah.Mereka menjadikan ulama
Ahlusunnah wal Jama‟ah sebagai rujukan agamanya dan mereka bertaqlid kelada
ulama Ahl Al-Sunnah dalam masalah halal dan haram sekaligus mereka tidak
meyakini sesuatu yang datangnya dari bid‟ahnya ahl al-ahwa yang sesat, mereka
adalah orang-orang yang dalam istilah tasawuf disebut “penghuni surga (Hasyw
Al-Jannah)”. Golongan Ahlusunnah wal
Jama‟ah, keseluruhnya merupakan pengikut agama yang benar dan pengikut jalan
yang lurus. Semoga Allah SWT mengokohkan mereka dengan qoul al-tsabith dalam
kehidupannya di dunia maupun di akherat, sesungguhnya Allah maha pantas dan
kuasa untuk mengijabah doa.
Golongan yang delapan terbagi menjadi dua kelompok besar, Kelompok
pertama adalah ulamanya, mereka ada enam golongan: (1) ulama aqidah, (2) ulama
fiqih atau fuqoha, (3) ulama hadits, (4) ulama tafsir, (5) ulama tasawuf, (6) ulama
sastra, nahwu dan sharaf. Kelompok kedua adalah awamnya, mereka ada dua golongan:
(1) para tentara muslim dari Ahl Al-Sunnah wa AlJama‟ah (2) orang-orang yang
hidup di suatu daerah yang disana tersyiar Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama‟ah.
Sejalan dengan itu, terdapat Ahlusunnah wal Jama‟ah yang hidup di
suatu daerah yang disana mayoritas penduduknya non-Alusunnah wal Jama‟ah.Bahkan
saat inimuslim Ahlusunnah wal Jama‟ahhidup di Negara yang dipimpin oleh
non-muslim seperti di Amerika, Eropa, Cina, Thailand, Singapura dan lain-lain.
3. Ahlusunnanh Wal Jamaah sebagai Manhajul Fikri
Dalam perkembangannya ASWAJA
sebagai madzhab mengalami kejumudan dan dirasa sulit menjawab kompleksitas
problematika masa kini, maka para pemikir kontemporer sepertiProf. Dr. KH. Said
Agil Siradj, MA melakukan rekontruksi terhadan rumusan ASWAJA yang asalnya
hanya dipahami sebagai madzhab (diantaranya rumusan mbah Hasyim) menjadi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri (metodologi berfikir)
dengan salah satu Argumentasinya “tidak mungkin ada madzhab diatas madzhab”
(maksudnya tidak mungkin ada madzhab ASWAJA diatas madzhab fiqh, tauhid dan
tasawuf) bahkan dalam salah satu makalahnya, beliau menyatakan bahwa rumusan
definisi Aswajanya Mbah Hasyim itu memalukan karena mengatakan “ASWAJA adalah
berfiqih madzhab yang empat, beraqidah Asy‟ari-Ma‟turidi, tasawuf
Ghozali-Albagdadi” secara mantiqi itu bukan
definisi, karena syarat ta‟rif (definisi) itu harus jami‟-mani‟ (jelas
cakupannya dan jelas batasannya). Kendati demikian definisi di atas itu
kondusif untuk zaman mbah Hasyim, namun untuk saat ini perlu dicari formula
definisi yang pas dan ilmiah, maka
beliau merumuskan definisi ASWAJA sendiri .Ahlusunnah waljamaah hiya manhajul
fikriddini asyamil ala syu‟unil hayati wamuqtadoyatiha alqoim alal asas
tawasuth, tawajun, tasamuh wal I‟tidah (ASWAJA ialah Metodologi Berfikir
keagamaan yang meliputi seluruh Aspek kehudupan yang berdiri diatas dasar
Moderat, berimbang, Toleran dan Proporsional).
Pemikiran diatas didasari oleh kenyataan sejarah, bahwa yang
membedakan pola fikir Aswaja dengan yang lainnya adalah sikapnya yang toleran
(seperti tidak mengkafirkan orang yang masih melaksanakan solat) dan moderat
(seperti menengahi konsepsi qodo qodar antara pemikiran Qodariyah dan
Jabariyah) Moderat, seimbang, Proporsional dan Toleran itu digunakan dalam
segala aspek baik dalam Aspek:
a)
Tauhid; dalam tauhid Aswaja memproporsikan mana yang harus menggunakan
dalil Aqli dan mana yang harus
menggunakan dalil Naqli.
b)
Fiqih; dalam fiqih Aswaja sangat Moderat dalam menengahi dominasi Nash
dan Ro‟yu, contohnya Imam Syafi‟i dalam mengistinbath hukum pertama
melihat sumber hukum berupa Nash baik Al-Qur‟an maupun Al-Hadits, kalau tidak
ada maka memakai Qiyas.
c)
Tasawuf;
dalam tasawuf Aswaja memposisikannya secara berimbang antara memakai hasil Mukasyafah
dan hasil Bayan (al-Qur‟an wal Hadist). Tidak seperti pengikut tasawuf
falsafi ataupun tasawufnya orang Syiah.
d)
Politik;
dalam berpolitik Aswaja tidak Ekstreme tidak seperti Syiah yang Guluw yang
mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Juga dalam berpolitik Aswaja tidak
Otoriter, tidak seperti konsep imamahnya
Syiah, Aswaja menegedepankan Musyawarah dan memegang suara mayoritas (al-Sawad
al-A‟dzom).
e)
Sosial
Kemasyarakatan; dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang Aswaja akan
senantiasa toleran dan legowo terhadap perbedaan serta tidak ekstrim dalam
berfikir dan berbuat.
f)
Dan
lain-lain
Walhasil, menurut K.H.Said Agil Siradj, siapapun yang berfikir
Moderat, berimbang, Proporsional dan Toleran maka dia adalah ASWAJA
E. MANHAJUL FIKRI LI AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
Rumusan ASWAJAnya K.H.Said Agil Siradj dinilai sangat naïf oleh K.H. Hamdun
Ahmad, karena masih global dan tidak
aplikatif bahkan menempatkan watak (karakter) berfikir ASWAJA sebagai Manhaj
berfikir , selain itu jugaterjadi liberalisasi ASWAJA sehingga ASWAJA tidak
akan punya identitas dan akan melebur dengan golongan lain, soalnyaKyai Said
mengungkapkan dalam buku “Tasawuf Sebagai Kritik Sosial” bahwa Syiah dan
Muktazilah itu masih termasuk islam dan termasuk ASWAJA, dengan Argumentasi
bahwa Syiah, Muktazilah dan Ahlusunnah sama secara konsepsional dalam masalah
Uluhiyah (ketuhanan), Nubuwah (kenabian)
dan sam‟iyat (yang didengar/hal diluar logika seperti adanya surga, neraka, dan
lain-lain).
Oleh karena itu K.H.Hamdun
Ahmad mencoba membuat elaborasi baru tentang Aswaja dengan nama manhajul fikri
liahli sunnah wal jamaah supaya tercapainya “almuhafadlotu ala qodimisholih wal
akhdu biljadidil aslah” dengan cara mempertahankan identitas ASWAJA sebagai
Madzhab, yang mana itu warisan intelektual masa lalu yang masih baik, mulai
dari masalah Tauhid, Fikir ataupun Tasawuf, karena disadari atau tidak memang
berbeda dengan konsepnya non-ASWAJA, tapi selain itu juga Kyai Hamdun mencoba
mendinamisir ASWAJA dengan cara mengembangkan Manhajul Fikrinya, tapi Manjahul
Fikri ( Pola Fikir/metodologi berfikir) nya tidak terlepas dari watak
berfikir ASWAJA yaitu tasamuh,
taadul, tawazun, dan tawasuth.
Adapun konsep manhajul
harokah Kyai Hamdun Ahmad adalah
sillaturrahmi, sillatul fikri dansillatul amal. Ini merupakan konsep
sederhana yang padat arti, di mana silaturahmi merupakan proses analisis
terhadap suatu objek, baik objek tersebut berupa realitas sosial ataupun
realitas individual, dari hasil analisis itu kemudian di olah (nah, pengolahan
ini termasuk sillatul fikri) agar bisa diaplikasikan dalam rangka menyelesaikan
suatu masalah, yang mana pengertian dari masalah (problem)adalah kesenjangan
antara yang seharusnya (das sollan) dengan kenyataannya (das sein).
1. Rumusan Manhajul Fikri Lil ahli Sunnah Wal Jamaah
Manhajul fikr liahli sunnah waljama‟ah adalah pola/metode
berfikirnya orang ASWAJA. Sebagaimana dijelaskan di atas dari hasil kajian
sejarah ternyata ada kesamaan pola yang dimiliki oleh orang-orang yang
dinyatakan sebagai ASWAJA. Maka dalam tulisan ini kami akan mencoba untuk memaparkan
sedikit tentang pola fikir ASWAJA.
KH. Hamdun Ahmad menyatakan dalam islam itu ada dua pola fikir,
satu pola fikir hukum, dua pola fikir ilmu. Pola fikir hukum itu sebagaimana
yang tercantum dalam kitab Arrisalah atau kitab Fawaidul makiyyah, yang intinya
suatu hukum bisa dikatakan benar jika sesuai dengan Al-Qur‟an, AlHadits dan
Akal.Kemudian pola fikir ilmu, jika kita merasa seorang muslim yang menganut
ASWAJA maka setiap pencarian dan penerapan ilmu kita harus memiliki basis
worldview (pandangan dunia) Tauhid, dengan rumusan sebagai berikut; minallah
(segala ilmu dari Allah), billah (melaksanakan ilmu tersebut dengan Allah/ada
campur tangan atau taqdiri Allah) dan yang terakhir harus lillah (semua ilmu
akan dikembalikan kepada Allah).
Berawal dari basis tauhid di atas, kemudian Allah SWT memberikan
dua tanda (ayat) kepada umat manusia, satu ayat qouliyyah, dua ayat
kauniyyah.Ayat qouliyyah adalah bahan ilmu yang berupa teks (Al-qur‟an dan
Hadits), sedangkan ayat kauniyyah adalah bahan ilmu berupa realitas.Tapi yang
menjadi masalah teks dan realitas tidak bisa ngomong sendiri, maka tugas
manusia-lah untuk menerjemahkan makna-makna yang terkandung dalam teks dan
realitas tersebut.
Maka dari itu manusia membutuhkan seperangkat metode untuk membongkar
teks dan realitas, teks dibongkar dan dicari makna yang terkandung di
dalamnyamenggunakan metode yang disebut dengan ushul fiqh, sedangkan realitas
itu dibongkar oleh filsafat serta anak-anaknya yang di antaranya adalah sains.
Tidak sampai berhenti disitu sejarah pun membutuhkan penafsiran yang cerdas
agar pengetahuan kita tentang realitas masa lalu bisa aplikatif untuk masa
kini, maka dibutuhkanlah penguasaan ilmu historiografi. Tapi jangan lupa bahwa
islam mempunyai metode pencari kebenaran yang tidak dimiliki oleh Barat modern,
metode itu adalah intuisi, di mana umat islam meyakini bahwa do‟a dan
kontemplasi (riyadhoh) serta imajinasi bisa menjadi jalan untuk mencapai
kebenaran.
Walhasi, dari basis ontologis dan epistemologis di atas, maka
secara metodologisASWAJA diproyeksikan
untuk membangun peradaban ilmu dengan berdasar kepada metode Burhani
(Rasional, Aqli), Bayani (tekstual, Naqli) serta Irfani (Intuisi,
Isyari‟) agar menghasilkan Al-Fiqhu Syamil (pengetahuan yang
komprehensif) tapi tidak keluar dari karakter Tawasuth, Tasamuh, Tawazun dan
I‟tidal.
Sebagaimana kita ketahui para ulama ASWAJA dalam bidang tauhid
selalu memakai dalil Aqli dan Naqli, dalam fikih juga sama namun dengan istilah yang berbeda Syar‟i
dan Akal‟ (Rasionalitas), dalam tasawuf juga begitu memakai dalil Naqli dan
Isyari‟ (hasil intuisi). Setiap komponen di atas diposisikan secara berimbang
dan moderat. Maka untuk ilmu-ilmu
sosialhumaniora, ilmu-ilmu science juga harus memakai metode di atas secara
berimbang dan moderat serta toleran atas metode yang lain yang tidak bertentangan dengan prinsip universal
Ahlusunnah wal Jama‟ah.
Untuk lebih jelas memahami uraian di atas perlu kiranya
penulis menampilkan skemapencarian
kebenaran yang sering disampaikan oleh K.H. Hamdun Ahmad sebagai berikut:
Epilog
Alhamdulillah! Atas berkat pertolongan Allah SWT di sela-sela
menulis buku “Anomalie Modernisme; Kritik ASWAJA atas Modernisme; Suatu telaah
Historis dan Filosofis” tulisan ini dapat dirampungkan. Dan mudahmudahan
tulisan sederhana ini walaupun hanya alakadarnya bisa menjadi pengantar bagi
para pemula dalam memahami Ahlusunnah wal Jama‟ah.
Penulis sadar bahwa dalam tulisan ini banyak sekali kekurangan,
maka kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini menjadi
harapan.
Jika ditinjau dari persfektif akademik, tulisan ini sangatlah tidak
akademik-ilmiah, namun itu sengaja
dilakukan karena kriteria ilmiah yang ada sekarang ini merupakan kriteria ilmiah
versi orientalis. Kemudian dunia ilmiah digiring pada satupintu kriteria ilmiah yakni versi
orientalis itu.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan perlawanan terhadap dominasi
objektivisme ilmiah, sebagai mana yang
telah dikakukan oleh K.H. Ahmad Baso dalam bukunya “Agama NU untuk
NKRI”.
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh guru, senior, sahabat yang
bersedia untuk ihtikaf dan munaqasah serta berdialektika dengan penulis
mudah-mudahan ini bisa menjadi amal
baik. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madhab Syafi‟I, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah (cet ke-XIV 2006)
Al- Anshari, Ibn Hisyam, Siratunnabawiyyah, Kairo: Darul fajri li
Turats (cet ke-III, 1431 H/ 2010 M)
Al-Asy‟ari, Muhammad Hasyim, Risalah Ahlusunnah wal Jama‟ah, dalam
Ishomuddin Hadiq, Irsyadusyari fi jam‟i musonnafati Hasyim Asy‟ari, Jombang:
Ihya‟ut Turats (tt)
Al-Bagdadi, Abu Al-Qohir Bin
Tohir, Al-Farqu bainal firaq, Bairut: Darul kotob islamiyyah (2009)
Al-Buthi, Siad Ramdhan, Siratunnabawiyyah,
Lebanon: Darul Fikr (1397 H/1977 M)
Al-Mahdaliy, Sayyid Muhammad
Aqil Ibn Ali, Ahlusunnah wal Jama‟ah;
madkhal wa dirasah, Kairo: Darul Hadits (tt)
Al-Laqoni, Ibrahim, Jauhr Tauhid,
Singapura: Al-Haromain (tt) An-Naisaburi, Abu A-Qosim Abdul Karim bin Hawazin
Al-Qusyairi, Risalatul Qusyairiyyah fi ilmi tasawwuf, AlHaromain (tt) Armstrong,
Karen, Islam; A Short History, New York: Modern Library (2000)
As-Segaf, Sayyid Alawi bin Muhammad, majmuatu Sab‟ati kutubin Mufidah,
Surabaya: Bankul Indah (tt) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia,
Jakarta: Kencana (2005)
Bathonah, Badawi, Muqodimah Al-Ghozali wa ihya‟ ulumiddin, dalam
Ihya Ulumuddin Juz I, Semarang: Toha
Putra (tt)
Fouda, Farag, Al-Haqiqat al-Gaibah, Alexandria, Mesir: Darul
matabi‟ al-Mustaqbal (Cet II, 2003)
Harits, Busyairi, Islam NU, pengawal tradisi suni Indonesia, Surabaya: Khalista (2010)
Hitti, Philip. K, History of the Arabs; From the Earlies Times to
the Present, New York: Palgrave Macmillan (edisi revisi ke-10, 2002)
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosda
Karya (2000) Salam, Solichin, sekitar Wali Sanga, Kudus: Menara Kudus (tt)
Siradj, Said Agil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Bandung:
Mizan (2006)
Wahid, Abdurrahman, Menggerakan Tradisi; esai-esai Pesantren,
Jogjakarta: LkiS (2001)
Lain-lain
Ceramah-cermah dan kuliah yang disampaikan oleh KH. Hamdun Ahmad
Pidato-pidato Said Agil Siradj
0 Response to "Ahlusunnah Wal Jama‟ah (ASWAJA) For Beginner"
Post a Comment