.googlezet{margin:15px auto;text-align:center}

Naskah Roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijk

-- --

Naskah Roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijk


zainudin a.aTerdapat sebuah kisah yang menceritakan tentang seorang pemuda dan kisah perjuangan cintanya yang sangat begitu mengharukan. Dan cerita ini dimulai dengan seorang pemuda yatim piatu yang meminta untuk diceritakan kembali tentang orang tuanya yang sudah kembali ke alam baqa.  Diceritakan lah oleh orang tua angkatnya yang telah merawatnya sejak dia ditinggal kedua orangtuanya yang ia panggil Mak Base.

(Zainudin menyender di bahu mamak nya itu, sambil mendengarkan cerita mamaknya itu)

            Diceritakanlah bagaimana kisah kedua orang tuanya itu. Ayah pemuda itu merupakan seorang yang bergelar Pandekar Sultan di tanah Minangkabau dia adalah anak tunggal. Lalu ibunya meninggal, dan yang mengurus harta benda hanya tinggal berdua, dia dengan mamaknya, Datuk mantari labih. Mamaknya itu hanya bisa menghabiskan harta benda saja, Pandekar Sultan selalu melarang mamaknya untuk tidak menghabiskan harta nya tapi apalah daya dia. Hingga suatu adu mulut antara Pandekar Sultan dengan mamaknya, yang mengakibatkan suatu yang tidak diinginkan terjadi, dengan tidak sengaja Pandekar sultan menancapkan pisau belati tepat di bagian kiri lambung Datuk mantari Labih. Karena hal itu sang Pandekar dibuang selama 15 tahun, dan dipenjara. Setelah masa tahannya selesai, dia hendak untuk kembali ke Minangkabau tanah asalnya, tapi tak mungkin baginya, dia sudah tidak memiliki sanak saudara, oleh karenanya dia berdiam di tanah Mengkasar, dia dikenal sebagai orang yang berbudi pekerti, sopan, dan sangat bijaksana, yang mengakibatkan dia diambil menjadi menantu, dan dinikahkannya dengan Daeng Habibah. Setelah tiga empat tahun dia menikah dikaruniainya seorang anak laki-laki yang diberi nama Zainudin, dan ya itulah pemuda yang meminta mamaknya menceritakan mengenai kedua orangtuanya.

            Sungguh malang nasib pemuda itu, dia telah ditinggal ibunya pada saat dia baru berumur 9 bulan, dan tidak lama pula dia ditinggal ayahnya. Dia pun dianggap orang asing di tanah lahirnya sendiri, karena ayah Zainudin bukanlah orang mengkasar asli. Di tanah ayahnya dia dianggap orang asing pula, karena ibunya bukan lah orang minangkabau. Ditanah ibunya dia tak dianggap di tanah ayahnya pun dia tak dianggap juga. Dia selalu menginginkan untuk pergi merantau ke tanah lahir ayahnya minangkabau, untuk melihat tanah nenek moyangnya. Dan akhirnya niatnya bulat untuk pergi merantau. Dan diminta izinnya terlebih dahulu kepada mamaknya. Dan akhirnya diizinkan pula dirinya pergi merantau.

Zainudin          : “ Sempit rasanya alam saya jika saya masih di negeri mengkasar ini mak Base.”

Mak base         : “Lantas apa yang kau inginkan udin ?”

Zainudin        : “Izinkanlah saya untuk merantau ke tanah nenek moyang saya, tempat ayah saya dilahirkan, izinkan lah saya. Saya sangat ingin melihat negeri itu. Dan saya bukan hanya sembarang pergi kesana, tapi saya akan menuntut ilmu agama dan ilmu dunia pula mak,”

Mak Base         : “Tapi apakah engkau sudah siap menghadapi ketidakakuan mereka akan dirimu,”

Zainudin          : “Insyaallah saya sudah siap mak, asalkan mak memberi saya izin, agar saya tenang disana. “

Mak Base       : “Baiklah jika itu yang kau inginkan, pergilah, kejarlah cita-cita mu tuntutlah ilmu sebanyak-banyak nya, bawalah harta warisan ayahmu bersamamu untuk bekal mu disana.”

Zainudin          : “Saya akan membawa warisan itu tetapi tidak semua, mak lipat gandakan saja uang sisanya untuk bekal saya dan mak disini, saya hanya akan meminta 15 atau 20 Rp saja setiap bulannya.”

Mak Base        : “Baiklah, jika memang itu yang menurutmu yang terbaik, mak tidak ada hak untuk memaksa dan melarang mu, pergilah engkau.”

Zainudin          : “Saya akan pergi besok ke Minangkabau. Saya akan menyiapkan segalanya sekarang.”

Mak Base        : “Oh Udin sebenarnya saya tak lepas membiarkan mu pergi, tapi ya sudahlah mungkin ini taqdir Tuhan, sering-seringlah engkau mengirim surat padaku disini.”

Keesokannya pukul 5 sore, kapal akan berlayar menuju Surabaya, Semarang, Jakarta, Bengkulu, dan Padang. Seketika akan berlayar Mak Base mengantar sampai ke kapal. Mereka bertangis-tangisan, karena berat sangka mak base bahwa Zainudin, tidak akan bertemu dengan dia lagi.

Zainudin          : “Sudahlah mak, jangan menangis, ikhlaskan lah kepergian ku ini.”

Mak Base        : “Bagaimana Mak bisa tahan tangis, kalau anak yang sudah mak besarkan bertahun-tahun, harus pergi ke tanah orang yang sangat jauh dari sini.”

Zainudin       : “Sudah mak sudah, kita pasti akan bertemu lagi mak, saya pergi dulu mak, mak hati-hati dirumah.” 

Mak Base        : “Udin !”

Zainudin         : “Mak, (Berlari ke arah Mak Base, dan mencium tangannya.)

            Lalu pergilah merantau Zainudin itu, ke tanah kelahiran ayahnya tanah Minangkabau. Tak pernah terlintas dipikirannya bagaimana dia akan menghapi kehidupan disana, dan akan terjadi apa ketika disana. Dia hanya memikirkan kesenangan yang akan ia dapat di negeri itu. Padahal berjuta kesedihan menanti dirinya disana.

            Dan sampailah Zainudin di padang panjang, dan meneruskan perjalanannya ke Dusun Batipuh. Ketika sampai di Batipuh, begitu senangnya dia melihat keindahan alam, yang mengelilinginya, dia tinggal di rumah bakonya rumah Mande Jamilah. Sebulan dia masih senang tinggal disana, tetapi setelah berbulan-bulan barulah dirasakannya bahwa dia dianggap orang asing di dusun itu, meskipun orang mengajaknya dia bergaul, ditegurnya tetapi tetap saja dia dianggap orang asing, sekali-kali dia berniat untuk kembali pulang, tetapi selalu tak jadi, mungkin itu lah kehendak tuhan. Hingga suatu waktu, hujan yang sangat lebat mengguyur daerah batipuh itu, berteduh lah zainudin di suatu tempat padahal dia membawa payung lalu datang lah kedua orang gadis yang hendak berteduh pula, karena mereka tak membawa payung. Ingin rasanya Zainudin menawarkan pertolongan untuk gadis itu, tapi dia masih ragu, dia tahu betul kedua gadis itu sama dengan nya warga dusun batipuh dia tahu juga nama seorang gadis itu yaitu Hayati, ditunggunya keberaniannya itu, barulah dia berani menawarkan bantuan kepada dua gadis berkerudung itu.

Zainudin          : “(Dengan wajah bingung dan takut) Encik !” (Bergetar)

Hayati             : “ Ya tuan ? (Dengan suara lembut & malu-malu)”

Zainudin          : “ Sukakah Encik jika saya tolong ?”

Hayati             : “Apakah gerangan pertolongan tuan itu ?”

Zainudin         : “Berangkatlah encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga .”

Hayati              : “Terimakasih ! (Seraya menolak).”

Zainudin          : “Jangan lah encik tolak pertolongan dari saya.”

Hayati              : “Dan tuan sendiri bagaimana ?”

Zainudin          : “Itu tak usah encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau 8 malampun saya sanggup pulang, berangkatlah dahulu !”

Hayati             : “Kemana payung ini kelak kami antarkan ?”

Zainudin          : “Besok saja antarkan payungnya ke rumah Mande Jamilah.”

Hayati             : “Terimakasih tuan, atas budi yang baik itu, “

Zainudin          : “Ah, baru pertolongan demikian, encik sudah hendak mengucapkan terimakasih.”

            Pergilah hayati dengan temannya menggunakan payung Zainudin, setelah reda pun akhirnya Zainudin pulang, di perjalanan dia melihat pemandangan yang indah, dan tiba-tiba bayangan akan wajah Hayati pun mucul dipikirannya, dan dia senyum-senyum sendiri mengingatnya. Dia sangat bahagia padahal gadis itu yang akan memberikan keperihan yang bertubi-tubi kepadanya kelak. Dengan reflex dia menyebut nama Hayati sekeras-kerasnya. Dan kembalilah dia ke rumah bakonya.

Zainudin          : “Ah begitu cantiknya dirimu, Hayati !” (Teriaknya)

            Pagi sekali pada esoknya datanglah seorang anak lelaki yang mengantarkan payung yang dipinjam Hayati dari Zainudin. Dan diberikannya pula sepucuk surat katanya dari Hayati untuk Zainudin, diambil olehnya dengan tangan gemetar, lalu dibacanya surat itu, dan ternyata isinya ucapan terimakasih dari Hayati atas pertolongan yang diberikan Zainudin kemarin sore. Begitu senang Zainudin menerima surat itu. Dibacanya berulang-ulang. Tersenyum-senyum dia jika ingat akan isi surat itu. Hatinya amat tertarik untuk melihat keindahan alam Batipuh. Berkelilinglah dia di dusun itu, hingga sampailah ke sepiring sawah, dan dia meliha seorang lelaki tua yang sedang menyabit sawah, bercakap-cakap lah mereka di sawah itu, hingga seorang gadis cantik berkerudung dengan seorang laki-laki datang menghampiri membawa makanan untuk lelaki tua itu, begitu kagetnya zainudin melihat perempuan itu adalah Hayati, disenyuminya Hayati, tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Lalu mereka pulang.

            Setelah pulang masihlah dipikiran Zainudin itu Hayati Hayati dan Hayati, begitupun dengan Hayati selalu memikirkan Zainudin hingga ia mencurahkan apa yang dia rasakan kepada sahabat nya Khodijah dengan melalui sepucuk surat. Surat itu berisi bahwa Hayati merasakan bahwa dia merasa ada yang berbeda antara perasaan nya kepada Zainudin, seperti ada sebuah getaran, bukan hanya getaran hati tapi getaran jiwa terhadap lelaki itupun dirasakannya. Zainudin juga selalu memikirkan Hayati tak mengenal pagi, siang, sore, yang dipirkannya itu hanyalah sosok Hayati.

            Hingga pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam Zainudin berani menemui Hayati untuk memberikan sepucuk surat, ugkapan apa yang dia rasakan kepa Hayati. Surat itu berisi cerita tentang kesedihan hidup Zainudin, dan tentang perasaan yang zainudin rasakan saat itu, dan Zainudin pun meminta Hayati untuk menjadi sahabatnya. Surat itu dibaca Hayati, ternyata isi surat itu mengena terhadap hati Hayati hingga meneteslah air mata Hayati ketika membaca, setelah itu dia menjadi bingung, apa sebenarnya perasaan yang dia rasakan kepada Zainudin. Lain halnya dengan perasaan yang Zainudin rasakan, setelah 4 hari suratnya itu tak mendapat balasan dari Hayati, Zainudin menjadi bingung, apa ada yang salah dengan isi suratnya, atau Hayati tak suka dengan suratnya, hingga tak sudi untuk membalas suratnya itu. Karena itu Zainudin menjadi malu ketika melihat Hayati, selalu dia lari terbirit-birit ketika dia melihat Hayati. Hingga dia bertemu dengan Hayati, ternyata salah lah sangkaannya. Dijelaskan lah oleh Hayati, yang intinya dia tidak bisa membalas karena dia tak punya kepandaian untuk menulis surat.

Hayati              : “Hai tuan Zainudin”

Zainudin          : “Hayati !”

Hayati             : “Mengapa akhir-akhir ini, tuan tak kelihatan, dan bila bertemu di tengah jalan, tuan serupa mengelakan diri ?  

Zainudin          : “Saya malu Hayati, saya takut.”

Hayati             : “Tidak perlu tuan merasa takut lantaran surat tuan, surat yang begitu indah susunannya, menarik dan membuka kunci pintu hati manusia.

Zainudin          : “Jadi adakah suratku mendapat penerimaan yang baik ?”

Hayati             : “Surat itu bagus sekali, menyedihkan dan merawankan dibuat dengan hati yang tulus rupanya. Tapi sayangnya saya tak ada kepandaian yang sebagai kepandaian tuan membalas surat yang indah-indah itu.”

Zainudin          : “Aku tak meminta balasan, yang aku minta hanya satu, jangan dikecewakan hati orang yang berlindung kepadamu.”

            Setelah mengetahui bahwa suratnya itu mendapat penerimaan yang baik, begitu senang hatinya, dan sering pula dia mengirimkan surat kepada Hayati yang isinya tentang perasaannya kepada Hayati, tetapi setelah tidak mendapatkan balasan, pupus lah harapannya, tapi harapannya kembali meningkat ketika diantarkan sepucuk surat untuknya dari hayati, yang isinya mengapa dia jarang membalas surat Zainudin dan diajaknya bertemu Zainudin di dangau di sawah. Dan bertemulah mereka. Dan mereka membicaran mengenai status hubungan mereka.

Hayati             : “Sudah lama agaknya tuan menunggu saya di sini ?”

Zainudin          : “Biar sampai matahari terbenam dan cahaya diberikan bintang-bintang, saya akan menunggu kedatangan mu. Karena orang yang sebagai kau, tidaklah akan sudi memungkiri janjinya. Mengapa dengan surat ku Hayati ? Hingga engkau tak sudi membalasnya ?

(Hayati Menangis)

Zainudin          : “Mengapa engkau menangis ? Begitu sulitkah mengatakan alasanmu padaku ? Atau kau telah membenci diriku ? ”

Hayatiz            : “Bukan begitu tuan, saya tak benci padamu, saya hanya takut akan bercinta-cintaan.”

Zainudin          : “Kau takut ?”

Hayat              : “Saya takut akan terikan oleh percintaan, karena saya seorang gadis kampong yang telah lama ditinggal kematian ibu.”

Zainudin          : “Apa kau kurang yakin dengan cintaku pada mu ini Hayati ?”

Hayati              : “Saya yakin ketulusan cintamu itu.”

Zainudin          : “Lantas mengapa ka uterus menangis ? Tak tega diriku melihat engkau menangis.”

Hayati             : “Bila kita bercinta akan banyak halangannya tuan, saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini yang kita tempuh.”

Zainudin          : “Jadi apakah keputusan mu itu ?”

Hayati              : “Lebih baik kita tinggal bersahabat saja.”

Zainudin          : “Kita bersahabat dan kita bercinta, Hayati, Karena kalau tak cinta padaku, artinya kau bukan bersahabat.

Hayati              : “Habisi sajalah hingga ini, tuan.”

Zainudin          : “Oh, jadi kau telah mengambil keputusan yang tetap ?”

Hayati              : “Ya !”

Zainudin          : Baiklah Hayati ! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Baiklah mari kita tinggal bersahabat, saya tak kan menggangumu lagi. (Sambil meninggal kan Hayati)

Setelah tak lama Zainudin pergi hayati pun berubah pikiran.

Hayati              : “Ahmad !”

Ahmad                         : “Ini saya kak.”

Hayati              : “Panggil tuan Zainudin kembali.”

Zainudin          : “Apa Hayati ?”

Hayati             : “Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia, menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang akan mengancam.”

Zainudin          : “Hayati kau kembalikan  jiwaku ! Kau izinkan aku untuk hidup kembali. Terimakasih Hayati !”

            Sebagaimana hal itu disembunyikan, tetap saja hal tersebut tersebar ke seluruh penjuru kampong bahwa anak kemenakannya Hayati memadu kasih dengan orang asing asal Mengkasar. Mereka berdua menjadi buah bibir orang dusun. Hingga akhirnya Zainudin pun diusir oleh orang dusun dan oleh mamak Hayati. Begitupun dengan bakonya Mande Jamilah ia mengatakan bahwa sebaiknya Zainudin pergi meninggalkan dusun demi kebaikan Hayati. Dan pergilah Zainudin dari dusin ke Padang Panjang. Ketika beberapa meter dia pergi dari kampungnya dilihatnya seorang perempuan yang sedang menunggunya di tepi dusun.

Zainudin          :”Rupanya ada juga niat hatimu hendak menungguku disini Hayati.”

Hayati             : “Memang, tuan Zainudin, engkau tak akan kubahasakan tuan. Aku kesini untuk melepasmu, dan biar engkau pergi sejauh-jauhnya jiwa mu akan selalu berada dekat dengan jiwaku.”

Zainudin          : “Hayati amat besar perkataan mu itu bagiku.”

Hayati             : “Hari ini saya terangkan dihadapan mu, dihadapan cahaya matahari, di hadapan roh ibu bapa yang sudah lama tiad, saya katakana bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Dan aku akan tetap didusun Batipuh menunggu mu, menjaga kesucian diriku untuk mu. Dan jika kita bertemu lagi, saya akan tetap bersih dan suci, untukmu, kekasihku, untukmu.”

Zainudin          : “Amat berat sekali sumpahmu itu, Hayati. Baiklah Hayati aku pegang sumpah mu itu. Aku akan berangkat dengan harapan yang penuh. Kirimi saya surat-surat, agar saya selalu mengingatmu.

Hayati             : (Dengan perlahan dibuka selendang yang diapakai diberikannya selendang itu kepada Zainudin) Inilah terimalah dariku !”

Zainudin          : “Aku akan tetap mencintaimu.)

Dan pergilah Zainudin dari Dusun Batipuh.

            Setelah sampai di padang Panjang, dia langsung mengirim surat untuk mak Base, mengenai kemalangannya di Minangkabau, dan dia mendapat balasan bahwa dia disuruh pulang ke Mengkasar, tapi dia tetap ingin berjuang di Padang. Dia menginap di salah satu rumah disana. Disana dia belajar mengenai ilmu agama dan ilmu dunia, dia juga tetap berkirim surat dengan hayati. Hubungan mereka sampai saat ini masih baik-baik saja. Tida hanya kepada Zainudin hayati mengirim surat, kepada sahabatnya pun Khodijah, hayati mengirim surat, bahwa orang yang dicintainya telah diusir dari dusun dan sekarang tinggal dekat dengan rumah sahabatnya itu di Padang Panjang. Dibalasnya surat hayati oleh Khodijah yang isinya bahwa aka nada pacuan kudan dan pasar malam di Padang Panjang dan dia mengajak Hayati untuk menginap di Padang Panjang untuk 10 hari. Dan pergilah hayati dengan ditemani oleh Mak tengah Limah. Alangkan senang Hayati bahwa dia akan pergi ke Padang Panjang, bukan karena pacuan kuda atau pasar malamnya akan tetapi karena akan bertemu dengan kekasihnya Zainudin. Dikirimkannya surat untuk Zainudin yang isinya bahwa Hayati akan menemuinya di Padang Panjang. Dan sampailah dia di Padang panjang. Dia menginap di rumah sahabatnya Khodijah. Khodijahlah yang telah banyak mempengaruhi Hayati termasuk mempengaruhi perasaannya kepada Zainudin, cara berapakaiannya pun berubah. Khodija pula yang telah membuat Hayati menyimpan sedikit rasa cinta kepada kakak Khodijah Aziz.

            Ketika di pacuan kuda benarlah bahwa hayati bertemu dengan Zainudin. Zainudin memang tak setampan Aziz, dia juga tak segagah Aziz, ditertawainya Zainudin oleh teman-teman Khodijah. Hayati sangat ingin mengatakan sesuatu kepada Zainudin, tapi tangannya ditarik oleh Khodijah. Melihat cara berpakaian Hayati yang berubah begitu kaget nya Zainudin. Dan dikiriminya lah Hayati sepucuk surat yang isinya bahwa Zainudin tak menyukai gaya berpakaian hayati yang menjadi terbuka. Tapi tak didapatkannya balasan dari Hayati. Ternyata Hayati telah mendapatkan pengaruh dari Khodijah. Dan ternyata Aziz kakak Khodijah menyimpan perasaan kepada Hayati, dan sepertinya Hayati juga sudah mulai bimbang antaraAziz dengan Zainudin. Setelah 10 hari dia berada di Padang Panjang pulang lah dia ke dusun Batipuh.

            Sepulang dari Padang, perasaannya kepada Zainudin menjadi luntur, bayangan wajahnya mulai smaar-samar hilang, dan diganti akan bayangan Aziz. Ketika kegalauan menimpa Hayati. Kesedihan pun menimpa Zainudin, mamaknya mak Base telah meninggal dunia di Mengakasar, dan ditinggalnya sebuah warisan sejumlah uang yang sangat banyak yaitu Rp 3000. Dengan uang segitu dia pun memberanikan diri untuk meminang Hayati. Dan tidak disangka kalau dia meminang Hayati bersamaan dengan Aziz. Bedanya Aziz meminang langsung, sedangkan Zainudin meminangnya melalui sepucuk surat. Sudah tentu Datuk lebih menerima pinangan Aziz, dan diadakanlah perundingan untu membahas hal ini, dan menyimpulkan bahwa yang diterima pinangannya yaitu pinangan dari Aziz, lelaki asli tanah minangkabau tulen.

            Berdebar-debar darah Zainudin seketika datang sepucuk surat yang tertulis dari Datuk di Batipuh. Begitu teririsnya hati Zainudin ketika dibacanya bahwa surat itu isinya penolakan datuk atas lamaran Zainudin terhapap kemenakannya Hayati. Sedih sangat hatinya itu. Kesedihannya itu bertambah ketika dia menerima surat dari Khodijah bahwa Hayati telah menerima pinangan dari kakaknya itu Aziz. Lemas seketika badan Zainudin itu. Memang sudah 3 hari Zainudin tak keluar kamar, ditanya dia oleh mamaknya di padang panjang, dan diminta tolong mamaknya untuk memanggil Muluk pulang, karena Zainudin ingin minta tolong kepada Muluk. Untuk mencari tahu mengenai Aziz tapi ternyata…

Muluk              : “Selamat siang guru,bagaimana keadaanmu ?”

Zainudin          : “Alhamdulillah baik, sebetulnya saya sudah hampir setahun tinggal dalam rumah ini, tetapi kita belum juga berkenalan yang rapat. Bang Muluk rupanya segan untuk bertemu dengan saya, seakan-akan saya dianggap orang lain.

Muluk              : “Bukan begitu guru, saya malu bertemu dengan guru maklum lah sayang hanya orang yang berdosa, yang senang berjudi, jadi tangan saya bernajis bila disbanding dengan engkau guru.”

Zainudin          : “saya ingin meminta tolong padamu abang.”

Muluk              : “Apa yang dapat saya tolong, insyaallah saya akan menolong guru.”

Zainudin          : “Meskipun bang Muluk baru saya kenal, tapi percaya jika abang akan menjaga rahasia ku. (Diceritakannya semua kisah hidupnya hingga sampai kepada Hayati)

Muluk              : “Begitu sulit hidupmu guruku, lantas apa yang bisa saya bantu guru ?”

Zainudin          : “Tolong cari tahu tentang Aziz, tolong selidiki asal usulnya. Jika memang dia pantas untuk Hayati saya akan ikhlas tapi bila tidak sungguh malang nasib kekasihku itu.”

(Muluk menggeleng-geleng kepala)

Zainudin          : “Mengapa engaku mengelengkan kepalamu ?”

Muluk              : “Sungguh malang kekasihmu itu guru, tak sukar untuk mencari Aziz. Siapa orang penjudi yang tak kenal dia ?”

Zainudin          : “Apa kata Abang ?”

Muluk              : “Si Aziz itu bukanlah orang yang baik budi, dia sorang penjudi, penyambung, pengganggu hubungan rumah tangga orang lain. Dia selalu memainkan hati wanita.”

Zainudin          : “ Allah… nasib kau Hayati !”

Muluk              : “Tak usah guru rugi banyak, percayalah mulutku!”

Zainudin          : “Bagaimana kalau saya temui dia ?”

Muluk              : “Siapa ?”

Zainudin          : “Aziz, saya hendak menasehatinya.”

Muluk              :”percuma guru.”

            Setelah mendengar kata-kata Muluk, Zainudin pun mengirimkan surat kepada Hayati sebanyak 3 surat, yang isinya menceritakan kemalangannya saat ini. Dan mendapat balasan dari Hayati yang sungguh sangat menyayat hati Zainudin, yang isinya mengatakan bahwa sebenarnya dia yang memilih Aziz setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi. Begitu retaknya hati Zainudin membaca surat itu. Dan dibalas oleh Zainudin, dia pura-pura tegar dalam mebalas surat itu.

            Dan tibalah hari pernikahan Hayati dengan Aziz. Hayati pun sangat bahagian dengan pernikahannya, dia sama sekali tidak terpikirkan mengenai Zainudin. Ternyata Zainudin sedang benar-benar dalam keadaan yang sangat malang. Dia sakit dan terus mengigaukan nama Hayati terus menerus telah dipanggi dukun-dukun tapi tak ada yang berhasil, hinggal dipanggilah seorang dokter, dan dokter itu menyarankan agar orang yang bernama Hayati itu dipanggil ke rumah Zainudin, agar zainudin cepat sadar. Awalnya Hayati tak mendapat izin dari datuk dan suaminya tapi dengan paksaan dokter akhirnya hayati pun pergi ke padang panjang bersama suaminya. Dan ditemuinya lah Zainudin yang sedang tak sadar diatas kasur. Dipanggil namanya oleh hayati dan akhirnya Zainudin pun sadar.

Dokter                         : “Zainudin, bangunlah kembangkanlah matamu, ini Hayati menengokmu.”

Hayati              : “Zainudin !”

Zainudin          : “Siapa yang memanggil namaku ?”

Hayati              : “Bangunlah Zainudin, ini saya datang.”

Zainudin          : “Hayatikah itu ? Suaranya saya kenal benar suaranya.”

(Bangunlah Zainudin itu)

Zainudin          : “Mana Hayati ? oh ya hayati, kau datang ptepat pada waktunya ! telah saya sediakan rumah buat tempat tinggal kita. Nantilah saya ambil pakaian hitam saya, pakaian penganten, ini tuan Kadi. Ayo kita menikah Hayati.

(Hayati mengulurkan tangannya yang sudah berinai)

Zainudin          : “Oh sudah berinai ya, oh ya saya lupa kau sudah kawin dengan Aziz. Kau suda kepunyaan orang lain, kau sudah hilang dari tangan saya.

Zainudin          : “Keluar lah semua dari kamar ini. Saya tidak ada perhubungan dengan orang-orang itu.

            Dua bulan lamanya Zainudin sakit, memang jiwanya sudah sadar tapi tidak dengan pikirannnya, dia seperti orang yang ingatannya sudah tak ada, dan dia menjadi lebih senang diam di tepi sungai mendengar derasnya air sungai. Hinga suatu siang Muluk mencari pemuda yang dia panggil guru itu, dan dia pun bercakap kepada gurunya itu dan menaikan semangat gurunya. Hingga gurunya bangkit. Dan memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa untuk mengembangkan bakatnya dalam menulis.

Muluk              : “Hai guru muda, sedang apa kau disini.”

Zainudin          : “Aku hanya ingin menenangkan pikiranku.”

Muluk              : “Sampai kapan kau akan terus seperti ini ? Meratapi kesedihanmu itu ?”

Zainudin          : “Kau tak mengerti apa yang kurasakan Muluk, aku sedih.”

Muluk              : “Tapi apakah kau akan selamanya seperti ini ? tidak bukan, bangkit lah guru, bangkit buktikan bahwa kau bisa hidup tanpa wanita itu.”

Zainudin          : “Begitukah ? Bagaimana kalau saya merantau ke Jawa, saya akan memakai bakat saya untuk menulis, bagaimana ?”

Muluk              : “Nah begitu lebih baik. Saya akan mendampingimu guru.”

Zainudin          : “Baiklah terimaksih muluk.”

Muluk              : “ Sampai mati menjadi sahabat.”

Zainudin          : “Sampai mati menjadi sahabat.” (Menjabat tangan muluk)



            Ternyata benar bakat menulis yang dimiliki Zainudin itu bukan lah bakat biasa, dia bisa cepat menjadi terkenal karena kisah hidup yang sedih yang dicurahkan menjadi sebuat hikayat diterbitkan di suatu surat kabar. Dengan isialnya “Z”. Dulu dia harus mencari penerbit yang ingin menerbitkan hikayatnya tapi sekarang penerbit yang mencari hasil karyanya itu. Namanya kian lama kian haru, pencahariannya pun maju. Dia termahsyur dengan nama samaran letter Z, pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan sandiwara Andalas.

            Lepas masalah kehidupan Zainudin kita kembali ke kehidupan rumah tangga Hayati dengan Aziz, memang pada mulanya dia merasa kalau dia adalah orang yang paling bahagia dalam kehidupan rumah tangga. Namun kebahagiaan itu hanyalah sementara, apalagi semenjak dia pindah ke Jawa, rasanya telah ada yang berubah dari diri Aziz kepada nya. Dicurahkan hatinya kepada Khodijah, dan dibalas dengan tenang oleh Khodijah, kalau Aziz masih mencintai Hayati, mereka menjadi hidup kekurangan karena kebiasaan aziz berjudi dan bermain perempuan tumbuh lagi dalam dirinya.

            Suatu sore club Zainudin yaitu club Anak Sumatra mengundang Aziz dengan Hayati untuk menghadiri pertunjukan cerita tonil karangan tuan Shabir. Dan Aziz dengan hayati datang dalam acara itu. Begitu kagetnya Hayati dengan Aziz bahwa ketua dari club yang mengunang mereka tidak lain tidak bukan adalah Tuan Shabir yaitu nama baru dari Zainudin. Bertemulah mereka dalam acara itu, tapi dengan kondisi Zainudin yang sudah berbeda, dengan jas yang mahal, dan dengan wajah yang bersih dia lebih gagah dari sebelumnya. Dan bercakap-cakaplah mereka.

Zainudin          : “Oh tuan Aziz ! Dan… Rangkayo Hayati ! Sudah lama tinggal di Surabaya ini ?”

Aziz                 : “Sudah 3 bulan.”

Zainudin          : “Azaib sekali, sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu.

Aziz                 : “Kami pun tak menyangka bahwa pengarang ternama ahli tonil yang selalu jadi buah mulut orang lantaran tulisan-tulisannya yang berarti itu adalah sahabat kami.Tuan Za..”

Zainudin          : “Shabir ! tidak ada lagi nama yang lama, karena kurang cocok dengan diri saya. Nama Shabir lebih cocok, bukan ?”

Aziz                 : “Semua nama cocok buat orang seperti tuan.”

Zainudin          : “Ah bisa saja tuan Aziz ini.”

            Ternyata kehidupan rumah tangga Hayati dengan Aziz kian lam kian memburuk, sering terjadi pertengkaran antara mereka. Barang mereka semuanya habis, digadai oleh Aziz, hingga rumah pun mereka sudah tak mampu untuk membayarnya. Pakaian Hayati juga sudah digadai untuk membayar hutang tapi hutangnya masih tetap menumpuk. Hingga mereka memberanikan diri untuk meminta bantuan  Zainudin. Dan untungnyalah zainudin adalah orang yang baik, hingga dia sanggup menolong mereka. Tinggallah mereka menumpang di rumah zainudin bersama Muluk. Muluk tak mengerti apa yang telah diperbuat gurunya, begitu baik gurunya itu. Dan hingga pada suatu permintaan aziz, agar dia menitipkan istrinya di rumah Zainudin, sedangkan dia akan merantau mencari pelerjaan.

Aziz                 : “Saudara ! Budi baik saudara kepada saya sudah terlalu besar, dhaif benar diri saya sekarang, tak ada balasan dari saya hanyalah memohon kepada Tuhan, moga-moga jasa saudara itu terlukis pada sisinya.”

Zainudin          : “Itu bukan jasa, itu hanya kewajiban seorang sahabat kepada sahabatnya. Apalagi kita hidup dirantau pula, kewajiban kita untuk menolong satu sama lain.”

Aziz                  : “Ah, belum pernah saya member kepada saudara, saya hanya selalu menerima.”

Zainudin          : “Karena belum waktunya, sekarang saya sedang berkesanggupan, tentu saya tolong. Kelak datang pula kesanggupan saudara, tentu saudara saya tolong.”

Aziz                 : “Terlalu baik saudara ini.”

Zainudin          : “Yang baik hanya Tuhan.”

Aziz                 : “Begini saudara saya sudah banyak meminta pertolongan kepada saudara. Dan saya ingin meminta pertolongan itu satu lagi.”

Zainudin          : “apa yang bisa saya bantu ?”

Aziz                  : “Saya hendak mencari pekerjaan diluar Surabaya. Jadi saya hendak menitipkan istri saya di rumah saudara.”

Zainudin          : “saya tak keberatan bila Hayati tinggal disini, tapi bagaimana kalau Hayati pulang dulu ke Padang.”

Aziz                 : “Tidak bisa itu, tidak Malu !”

Zainudin          : “Bagaimana Hayati ?”

Hayati              : “Saya hanya bisa menurut.”

Zainudin          : “Baiklah, jika itu keputusan kalian, satu pintaku untukmu Aziz, ubahlah perilakumu.”

Aziz                 : “Saya berjanji saudara.”

            Setelah kepergian Aziz dari rumahnya terjadi kebiasaan yang baru, yaitu Zainudin menjadi lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah, di rumah dia hanya makan dan tidur saja. Hingga pada suatu malam Zainudin tak kunjung pulang, Hayati menunggunya dengan tak sabar karena sudah datang waktu makan, dan dia bertanya kepada Muluk. Ternyata jawaban dari Muluk itu sangat membuat hati Hayati menyesal dan sedih.

Hayati              : “Mengapa Zainudin tak kunjung pulang engku ?”

Muluk              : “Barangkali tengah malam baru dia kembali, sebab banyak urusannya diluar.”

Hayati              : “Mengapa sejak saya disini dia bagai orang yang ketakutan saja ? Adakah kedatangan saya memberatkannya ?”

Muluk              : “Bukan Encik, encik jangan salah terima padanya.”

Hayati             : “Mengapa abang Muluk larang saya mendekat ke kamar tulisnya.”

Muluk              : “Ah encik, “

Hayati             : “sudah terlalu lama saya makan hati berulam jantung disini. Berilah saya kepastian, masih dendamkah dia kepada saya ? Masih belum adakah pada engku Zainudin maaf kepada saya.”

Muluk              : “Encik ! duduklah baik-baik dikursi itu. Akan saya ceritakan kepada Encik”

Hayati              : “Bagaimana ?”

Muluk              : “Dia seorang pemuda tak beruntung.”

Hayati              : “Tak beruntung ? Apakah artinya itu ? Bukankah kemahsyuran, kemegahan, kemuliaan, menjadi cita-cita laki-laki ?”

Muluk              : “Apalah arti kemuliaan bila maksud tak sampai encik.”

Hayati              : “Apa maksudmu ?”

Muluk              : (“Diceritakan Kisah Zainudin.”)

Hayati              : “Sudahlah bang muluk sudah.”

Muluk              : “Pinangan ditolak orang, orang lebih suka menerima laki-laki yang lebih cukup syarat-syarat adatnya.”

Hayati             : “Sudahlah Bang Muluk, sudah.”

Muluk              : “Tidak Encik, akan saya teruskan. Hampir gila dia dibuat oleh wanita itu, oleh sebabnya kami merantau kesini encik.”

Hayati              : “Cukup abang cukup, Semua suka bagiku.”

Muluk              : “Ayolah masuk keruangannya lihat mengapa dia melarangmu masuk ke ruangan itu, disana ada fotomu Hayati, sampai sekarang dia masih mencintaimu.

Hayati              : “Oh bang Muluk, Betapa jahatnya aku sebagai wanita.”

            Setelah melihat jika dikamar Zainudin terdapat fotonya, larilan dia ke kamarnya dan tidur, dia menangis sepanjang malam, dan tangisnya itu disambung dengan surat cerai yang sampai ditangannya. Begitu terpukulnya dia membaca surat itu. Ternya bukan kepada hayati surat itu juga sampai ke tangan Zainudin yang isinya Aziz mengembalikan Hayati untuk Zainudin. Untuk melepas kepenatannya dibacanya lah suratkabar yang berita utamanya telah meninggal perantau asal Sumatra di kamar hotel, diduga pemuda itu bunuh diri dengan memakan obat tidur dengan dosis yang berlebihan. Semakin sedih Hayati.

            Zainudin sedang termenung didalam kamar tulisnya membolak balik surat yang diterimanya itu serta memandang surat kabar tersebut dengan hati yang haru. Tiba-tiba Hayati masuk ke dalam kamar memberanikan dirinya. Mereka beracap-cakap mengenai surat yang mereka terima, dan akhirnya dapat satu keputusan kalau Hayati harus kembali ke Minangkabau.

Zainudin          : “Duduklah !”

Hayati             : “Adakah surat dari suamiku ?”

Zainudin          : “Ada.”

Hayati              : “Sayapun menerima pula, inilah dia,. (Diam) Apa akal saya lagi engku Zainudin?”

Zainudin          : “Ya, apakah akal kita lagi ?”

Hayati             : “Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainudin ! saya akan sudi menanggungkan segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku.”

Zainudin          : “Maaf ? Kau meminta maaf Hayati ? Setelah segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengaharapanku kau patahkan, kau meminta maaf ?”

Hayati              : “Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu padaku Zainudin ? Lekas sekalikah pupus daripada hatimu keadaan kita ? Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti ini.”

Zainudin          : “Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya. Lupakah kau ? Siapa diantara kita yang kejam, setelah aku diusir kau berjanji padaku akan menunggu ku hingga aku kembali, tapi kau menikah dengan dia ! Hampir saya mati karena mu, siapa yang kejam ? siapa ? Sudah lah pulanglah kau ke tanah asalmu yang beradat itu ! Ongkosmu biar aku yang bayar, biaya hidupmu biar aku yang tanggung.”

Hayati              : “Tidak ! saya tidak akan pulang saya akan tinggal disini denganmu. Biar saya kau hinakan, biar kau pandang rendah saya seperti babu yang hina. Saya tak perlu uang mu, saya hanya butuh berada didekatmu !”

Zainudin          : “Tidak Hayati kau harus pulang ke Padang ! Biarkanlah saya dalam keadaan begini, Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal ! Negeri Minangkabau Beradat. Besok ada kapal berlayar, kau bisa tumpangi kapal itu, ini ambil untuk belanja buat pulang !”

            Pagi-pagi hari senin tanggal 19 Oktober 1936 Kapal Van der Wijk yang menjalani lijn K.P.M dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan kapal itulah Hayati akan menumpang. Demikian putusan yang diambil oleh Zainudin. Dan dengan berat hati dengan membawa salah satu foto zainudin dia pulang meninggalkan Surabaya menuju Padang. Dititipkannya sepucuk surat untu zainudin lewat Muluk.

Zainudin          : “Hayati ! selamat pulang, barangkali saya sendiri tak bisa mengantarmu ke Tanjung Perak, karena ada urusan yang akan saya selesaikan di Malang, pagi ini juga saya berangkat. Nanti biarlah Bang muluk yang akan mengantarmu ke pelabuhan.”

(Didalam Kapal)

Muluk              : “Hayati ! sebenarnya tak sampai hatiku hendak melepas engkau berlayar seorang diri. Saya pun telah ingin pula hendak pulang ke kampong. Tetapi apakah akan dayaku, keadaan belum mengizinkan. Sebab itu berilah saya maaf, dan jangan kau terlalu berkecil hati.”

Hayati              : “Sampai hati betul Zainudin menyuruhku pulang, bang Muluk…”

Muluk              : “Kuatkan hatimu hayati, Jangan tuhan kau lupakan, dia senantiasa sayang akan hambanya.”

Hayati              : “Insyaallah Bang Muluk.”

Muluk              : “Sekarang saya turun, dan selamat berlayar !”

Hayati              : “Selamat tinggal ! tolong sampaikan surat ini untuk Zainudin.”

Muluk              : “Baiklah Hayati.”

            Besoknya tanggal 20 Oktober, Zainudin pun pulang dari malang dengan hatinya lesu. Dan dia bercakap kepada Muluk kalau dia menyesali keputusannya kemarin, dan dia akan menyusul Hayati ke Padang, lalu dibacanya surat dari Hayati yang dititipkan ke Muluk. Setelah membaca surat itu dia pun hendak membaca surat kabar dan begtu kagetnya dia ketika membaca “Kapal Van der Wijk telah tenggelam” Langsunglah pikirannya yang tidak-tidak. Dia langsung mencari informasi kemana korban dilarikan akhirnya dia mendapat informasi kalu korban yang berhasil ditolong dibawa ke Lamongan, Jawa Timur, langsung saja dia pergi kesana dengan muluk dan didapatinya Hayati yang penuh luka dengan tidak sadarkan diri. Begitu menyesalnya zainudin menyuruh Hayati pulang. Dan dia harap Hayati dapat bertahan dan meneruskan hidup bersamanya di Jawa, tapi apalah daya, tuhan berkehendak lain, Hayati meninggalkan Zainudin untuk selamanya.

Suster               : “Tuan Zainudin ?”

Zainudin          : “Darimana nona tahu ?”

Suster               : “Ketika dibawa kesini, dia menggenggam foto tuan, dengan tanda tangan tuan dibelakangnya. “

Zainudin          : “Bangunlah engkau Hayati.”

Suster               : “Biarlah dia bangun sendiri..” \

Muluk              : “Adakah harapan akan hidup ?”

Suster               : “Siapakah yang dapat menentukan hidup mati orang ?”

Hayati              : “Kau Za-i-nu-din ?”

Zainudin          : “Ya Hayati, Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah beroleh keizinan dari dokter, kita segera berangkat ke Surabat.”

Hayati              : “Suratku bang.”

Muluk              : “Sudah Hayati, sudah kuberikan !”

Zainudin          : “Bagaimana halnya suster ?”

Suster               : “Dia terlalu payah, darah terlalu banyak keluar dia demam sekarang.”

Zainudin          : “Kalau perlu ambillah darahku sendiri suster, untuk menolong jiwanya.”

Suster               : “Sayang disini pekakas tidak cukup, baru saja dipesankan ke Surabaya, beberapa dokter akan menolong kemari.”

Hayati              : “Zainudin saya dengar perkataan tuan dokter saya tahu bahwa waktu saya telah dekat.”

Zainudin          : “Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita akan hidup bahagia berdua, tidak Hayati tidak !”

Hayati              : “Sabar Zainudin, cahaya kematian telah terbayang dimukaku, Cuma jika kumati hatiku telah senang, sebab telah kuketahui engkau masih cinta kepadaku.”

Zainudin          : “Hidupku hanya untuk mu seorang Hayati !”

Hayati              : “Akupun ! Bacakanlah dua kalimat suci ditelingaku !”

Zainudin          : (Membaca Sahadat) (Dan meninggalah Hayati) Tidak Hayati jangan kau tinggalkan aku.”

            Setelah Hayati meninggal, Zainudin menjadi sering sakit-sakitan, dia pun kehilangan semangat hidupnya. Hingga diapun menyusul Hayati ke Alam Baqa. Dia meninggal dalam menulis akhir suatu karangan. Dan dia dikuburkan disebelah makam Hayati. Begitulah kisah seorang pemuda asal Mengkasar dan kisah cintanya yang begitu memilukan, membuat hati yang mengetahuinya teriris, dan tenggelam dalam kesedihan.





0 Response to "Naskah Roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijk"