.googlezet{margin:15px auto;text-align:center}

AKSI REPRESIF ISLAM RADIKALISME BERPOTENSI MELEBURKAN PREDIKAT ISLAM RAHMAT BAGI ALAM

-- --
AKSI REPRESIF ISLAM RADIKALISME BERPOTENSI MELEBURKAN PREDIKAT ISLAM RAHMAT BAGI ALAM oleh Zainudin Ali Arsyad
Oleh Zainudin Ali Arsyad
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Islam Nusantara (Uninus), Bandung


Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Adalah Islam agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah Subhanah Wata’ala, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS.Al-Alnbiyah:07)

Rahmat adalah kelembutan yang berpadu dengan rasa iba yang penuh akan kasih sayang.

Islam sebagai rahmatan lil alamin tentunya dalam menyikapi perbedaan pun merupakan rahmat. konteks rahmat bersifat ammah kulla syai’ meliputi segala aspek, sehingga orang-orang non-muslim pun mendapatkan rahmanNya.

Dalam rentetan sejarah peradaban Islam, tentunya tidak lepas dari politik yang dilakukan atas dasar nilai-nilai keimanan berbasis tauhid dengan menggunakan praktek-praktek yang damai dan penuh etika. Hal ini sesuai dengan keberhasilan politik yang diterapkan Nabi Muahamad Shollallahu ‘alaihi wasallam dalam usaha membangun Negara Madinah.

Gerakan dakwah politik Rasulullah adalah sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia. Dalam kampanye dakwahnya, beliau senantiasa mengajak umatnya dengan cara lembut, sopan, bijaksana, kasih sayang, dan penuh keteladanan, ketelatenan dalam merespon isu-isu yang berkembang dengan konsep tabayyun. Karena sejatinya dakwah, kampanye program perubahan untuk kemaslahatan bersama adalah menyeru dan mengajak umat manusia untuk menjadi lebih baik.

Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan, kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya. Tidak ada satupun ajaran di dalamnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk membenci dan melukai makhluk lain. kalaupun ada, itu adalah bagian kecil dari salah satu upaya pemecahan masalah yang dilakukan umatnya dan bukan ajarannya. Kitab suci Al Qur’an dan Sunah rasul diyakini oleh umat Islam sebagai sumber utama dalam memecahkan semua persoalan yang ada.

Agama dan politik adalah dual hal saling menopang. Tentunya agama yang beraliran moderat bukan radikal yang berpotensi menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya agama dijadikan petunjuk politk yang moderat, toleran, menjadi jalan tengah, anti radikal dan mampu menjaga kebersamaan dan kedamaian dalam keberagaman sesuai HAM. (Ma’aruf Amin, Agama dan poltik saling menopang, 2017).

Namun, jika diamati perkembangan islam di indonesia saat ini ternyata mengalami degradasi nilai sebagai predikat Islam rahmatan lil alamin ditengah kehidupan sosial. Seperti adanya penyalah gunaan praktek-praktek ajaran Islam kerap melahirkan pertumpahan darah. di mulai dari peristiwa bom bali, semanggi, hotel ritz calton dan lain-lain dari oknum-oknum islam garis keras. Lalu kejadian yang baru, muncul gerakan aliran Islam yang mengaku moderat tetapi keras dan tekstual dalam memahami nilai Islam sehingga secara praktek, seraya memberikan perlawanan yang sifatnya anarki. Sikap sebagian muslim seperti ini yang diidentifikasikan sebagai  Aliran Radikal. Gerakan Islam Radikal ini berkembang dinamis dan mampu menempatkan diri ditatanan sosial karena mendapatkan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diatur dalam konstitusi Negara. Akibatnya, agama Islam yang berpredikat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam terasa semakin lebur ditatanan sosial. Adapun aksi-aksi anarki yang berpotensi meleburkan predikat Islam sebagai rahmat bagi manusia ditatanan sosial dapat diidentifikasi sebagai berikut:
pertama. Konstelasi politik tanah air yang semakin kurang kondusif akibat tajamnya perbedaan pendapat diantara masyarakat mayoritas beragama Islam yang saling membelah opini publik lalu berakhir demonstrasi dimomentum hajatan politik sehingga cukup memberikan pintu masuk bagi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki agenda lain untuk menjalankan kepentingan politik dan ambisi pribadinya. Bagaimana tidak, agama islam sangat rentan ditunggangi kepentingan propaganda-propaganda bernuansa politik dalam mewarnai setiap himbauan bagi umat muslim untuk ikut bergerak melakukan demonstrasi. Dengan kata lain, agama Islam dijadikan alat paling ampuh oleh kalangan penguasa untuk memperlancar urusan politik dengan cara mematahkan aksi politik kaum minoritas. Contoh kasus yang sering ditemukan adalah ketika Indonesia dihebohkan dengan urusan pilkada, berbagai ayat qur’an pun dimunculkan untuk mendukung atau menolak calon. Akhirnya terlihat jelas martabat agama dan kitab suci dimanfaatkan dengan harga dan cara yang sangat murah dan vulgar demi kepentingan segelintir penguasa. Hal ini menandakan bahwa Bukan agama yang membimbing bagaimana berpolitik yang anggun dan terhormat, melainkan agama dibajak dan dijadikan jampi-jampi politik.

Pernyataan itulah yang dikwatirkan Presiden Indonesia, (Joko Widodo, 2017), Jangan sampai agama dijadikan komoditas politik. maksud pernyataan itu bukan berarti memisahkan secara tegas antara agama dengan politik. Kedua ranah itu harus tersambung dalam kontek yang benar. Beliau menyontohkan bagaimana saat membuat kebijakan harus berlandaskan nilai agama.

Melihat kondisi yang demikian itu, sangat berbeda dengan sejarah peradaban Negara Madinah yang digagas oleh Nabi Muhamad yakni agama Islam dijadikan wadah pemersatu untuk memperlancar dakwah sekaligus memposisikan agama Islam sebagai cerminan politik damai antar sesama bukan sebagai alat pemicu kebencian. Beliau (Nabi Muhamad) membangun Negara Madinah merupakan terobosan jitu dalam mempersatukan peperangan antar suku dengan menjunjung tinggi asas musyawarah mufakat, damai, adil dan bijaksana sebagai cerminan nilai politik Islam.

Kedua, mayoritas pemeluk agama Islam gampang diprovokasi baik dari kalangan awam maupun kalangan pelajar. Betapa mudahnya digiring untuk membenci, mengolok-olok, dan bahkan menyerang umat tertentu, ormas tertentu, pengajian tertentu, sekte tertentu, dan seterusnya atas argumen membela Islam, Tuhan, Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan sahabat, atau yang lain yang dianggap sebagai simbol identitas Islam. Misalnya adanya demonstrasi atas nama Islam sebagai penghakim kaum minoritas (yang belum tentu murni keberarannya) dengan estimasi ribuan massa dalam menghadapi isu bernuansa politik yang ternyata masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Yang demikian itu mencerminkan kurangnya ketabahan dan kajian yang mendalam tentang pergeseran dinamika sosial sehingga gampang terprovokasi. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan perilaku santun sebagai cermin ajaran Agama Islam yang dicontohkan Nabi Muhamad ketika diwarnai hujatan dari kaum yang tidak sependapat dengannya. Islam selalu mengajarkan kedamaian kepada semua manusia sehingga Islam membenci peperangan. Peperangan ditempuh bertujuan memertahankan diri dan demi menjaga akhidah.

Ketiga, Saling mengkafirkan antara sesama Muslim. Kondisi umat Islam saat ini ternyata sudah dinubuatkan oleh Nabi muhamad sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut Hadist Tirmidzi Nomor 171, Nabi s.a.w diriwayatkan telah bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan mereka semua akan berada di neraka kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah, golongan manakah yang akan selamat? Kemudian beliau pun menjawab, “Ia adalah golonganku dan sahabat-sahabatku.”

Terpecah belahnya umat musim saat ini sedang marak terjadi di Dunia khususnya di Indonesia sebagai Negara berbasis Islam. Kehidupan umat Muslim Indonesia saat ini mulai dikotak kotaki. Kaum Muslim yang pemahaman dan pengetahuannya terbatas biasanya hanya bisa pasrah mengikuti panutannya tanpa melihat ajaran yang diikuti secara rasional menurut ajaran Quran dan hadist. Sedangkan umat lain yang berpendidikan kritis, selalu mencari kebenaran sesuai dengan rasionalitasnya.  Sebagian kelompok lain mengaku yang dipercaya adalah yang paling benar dan lainnya mengkafirkan yang lainnya. 

Kerap kita temukan adalah tuduhan yang dilontarkan oleh kalangan tertentu umat Islam  terhadap umat Islam lainnya dalam menyikapi perbedaan pendapat masalah furu’ yang berakhir dengan tuduhan sesat, ahli bid’ah, musyrik, dan kafir karena tidak sesuai dengan paham dan ideologi Islam yang dianutnya. Seperti perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi dan para waliyyullah/sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin (kelahiran) Nabi Muhamad, pembacaan Istighotsah, dan sebagainya sehingga membuat kelompok yang dicela merasa tersinggung dan marah karena merasa telah berusaha menjadi muslim yang baik dengan melaksanakan perintah syariah dan menjauhi laranganNya. Dari sudut pandang syariah pun, sikap mencela dan menyakiti sesama muslim tidak dibenarkan.

Nabi bersabda:  “Seorang muslim (yang baik) adalah yang muslim lain selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya”. Dikesempatan lain, Nabi bersabda: “Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaknya), dan bukan orang yang jorok omongannya”. Termasuk menyakiti sesama muslim adalah membicarakan keburukannya walaupun itu fakta.

Jika ditelusuri adanya pendikotomian tersebut, sebagian besar berawal dari pengaruh penyalahgunaan pemahaman atas ajaran Islam yang dipahaminya sesuai  para Salaf Sholeh siapa yang dianutnya. Padahal yang demikian itu harusnya dijadikan kekayaan pengetahuan bukan diperdebatkan mengenai perbedaannya. Kita sebagai pengikut ajaran Nabi Muhamad, jika terdapat perbedaan pendapat maka dianjurkan untuk mengambil jalan tengah dari segala perbedaannya.

Karena kebebasan persepsi manusia itu terbatas dan bersifat relatif maka sangat keliru jika ada yang mengklain bahwa pemahamannya terhadap ajaran islam yang paling benar lalu yang lain salah.

Itulah tiga faktor yang dirasakan dan membuat dilema ketika membaca gejolak politik islam dan problem internal Islam masa kini yang dikwatirkan akan merambat kepada masalah-masalah lain yang tentunya lebih serius.  Maka perlu adanya pengawalan yang serius dari pihak-pihak pemangku kebijakan yang mempunyai otoritas penuh agar nantinya melahirkan suatu tatanan sosial yang kondusif.

Secara garis besar, Politik dan Agama tidak dapat dipisahkan. Perpaduan keduanya merupakan konsep yang menyeluruh, komprehensif, integral dan bukan hanya masalah kekuasaan belaka. Islam memandang politik sebagai suatu cara dan bukan tujuan. Konsep ini didasari oleh akidah yang kokoh dengan berpegang pada manhaj yang pernah ditempuh oleh Rasul, shahabat, dan para tabi’in. Artinya berpolitik adalah suatu cara dalam melakukan dakwah dengan penuh damai. Dalam Alquran, Allah memberikan tuntunan berdakwah atau berkampanye program kebaikan dengan tiga cara, yakni bil hikmah, mau’izhotil hasanah wa jaadilhum billati hiya ahsan.

Sebagai saran, marilah menyikapi segala sesuatu dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan disini adalah hasil perpaduan antara akal sebagai otoritas individu manusia dan wahyu sebagai otoritas Allah. Sehingga nantinya tidak gampang terprovokasi. Mengenai akal dan wahyu, perlu adanya usaha-usaha konkret dari pemerintah terkait, untuk melendingkan konspep pendidikan Agama Islam dan politik yang ideal dengan cara mengubah cara pandang generasi terhadap Islam yakni selain melihat Islam sebagai barisan sejarah yang pernah mencetak peradaban, agama Islam juga harus ditela’ah secara substansi yang nantinya melahirkan nilai moderat (tawassuth), toleransi (tasamuh, keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul) sebagai usaha menempatkan kembali predikat islam sebagai petunjuk harmoni politk dalam keragaman hidup berbangsa dan bernegara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Qs. Ali Imran:103)
Pada ayat ini setidaknya memberikan dua penegasan terhadap umat manusia yakni: Selain mengatakan “berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah” dan “janganlah kamu bercerai-berai”. Ayat ini sebagai rambu-rambu agar ketika kita dihadapi berbagai masalah diinternal (dalam) islam, jangan sampai berakhir dengan saling menghujat, saling mengklaim kebenaran, dan seterusnya. Karena yang demikian itu merupakan faktor-faktor pemicuh perpecahan antara kelompok muslim dengan muslim yang lainnya.

Perbedaan pendapat antara kaum muslim memang selalu ada, tetapi bukan untuk dipertajam dengan saling menyesatkan dan mengkafirkan satu sama lain. Pokok perbedaan pendapat ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama yang mempunyai otoritas. Hal ini sesuai dengan perintah al’quran kepada umat Islam agar berfikir dan berdebat dalam perbedaan dengan hikmah (kebijaksanaan) dan nasihat yang baik (mau'idzah hasanah).

Islam menjunjung tinggi pluralisme karena Islam mengakui keberadaan semua bangsa, mengakui seluruh lapisan masyarakat, dan Islam juga mengakui semua agama. Dengan adanya kesadaran untuk menghargai pluralisme merupakan bukti bahwa Islam membawa rahmat bagi seluruh alam.


Sumber:

0 Response to "AKSI REPRESIF ISLAM RADIKALISME BERPOTENSI MELEBURKAN PREDIKAT ISLAM RAHMAT BAGI ALAM"