Oleh Zainudin Ali Arsyad
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Islam Nusantara (Uninus), Bandung
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Adalah Islam agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam
semesta. Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah Subhanah Wata’ala,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam” (QS.Al-Alnbiyah:07)
Rahmat adalah kelembutan yang berpadu dengan rasa iba yang penuh akan kasih sayang.
Islam sebagai rahmatan lil alamin tentunya dalam menyikapi
perbedaan pun merupakan rahmat. konteks rahmat bersifat ammah kulla syai’
meliputi segala aspek, sehingga orang-orang non-muslim pun mendapatkan rahmanNya.
Dalam rentetan sejarah peradaban Islam, tentunya tidak lepas dari
politik yang dilakukan atas dasar nilai-nilai keimanan berbasis tauhid dengan
menggunakan praktek-praktek yang damai dan penuh etika. Hal ini sesuai dengan
keberhasilan politik yang diterapkan Nabi Muahamad Shollallahu ‘alaihi
wasallam dalam usaha membangun Negara Madinah.
Gerakan dakwah politik Rasulullah adalah sebaik-baiknya teladan
bagi umat manusia. Dalam kampanye dakwahnya, beliau senantiasa mengajak umatnya
dengan cara lembut, sopan, bijaksana, kasih sayang, dan penuh keteladanan,
ketelatenan dalam merespon isu-isu yang berkembang dengan konsep tabayyun.
Karena sejatinya dakwah, kampanye program perubahan untuk kemaslahatan bersama
adalah menyeru dan mengajak umat manusia untuk menjadi lebih baik.
Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan, kenyamanan,
ketenangan dan ketenteraman bagi semua makhluknya. Tidak ada satupun ajaran di
dalamnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk membenci dan melukai makhluk
lain. kalaupun ada, itu adalah bagian kecil dari salah satu upaya pemecahan
masalah yang dilakukan umatnya dan bukan ajarannya. Kitab suci Al Qur’an dan
Sunah rasul diyakini oleh umat Islam sebagai sumber utama dalam memecahkan
semua persoalan yang ada.
Agama dan politik adalah dual hal saling menopang. Tentunya agama
yang beraliran moderat bukan radikal yang berpotensi menghancurkan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Artinya agama dijadikan petunjuk politk yang moderat,
toleran, menjadi jalan tengah, anti radikal dan mampu menjaga kebersamaan dan
kedamaian dalam keberagaman sesuai HAM. (Ma’aruf Amin, Agama dan poltik saling
menopang, 2017).
Namun, jika diamati perkembangan islam di indonesia saat ini
ternyata mengalami degradasi nilai sebagai predikat Islam rahmatan lil
alamin ditengah kehidupan sosial. Seperti adanya penyalah gunaan
praktek-praktek ajaran Islam kerap melahirkan pertumpahan darah. di mulai dari
peristiwa bom bali, semanggi, hotel ritz calton dan lain-lain dari oknum-oknum
islam garis keras. Lalu kejadian yang baru, muncul gerakan aliran Islam yang
mengaku moderat tetapi keras dan tekstual dalam memahami nilai Islam sehingga secara
praktek, seraya memberikan perlawanan yang sifatnya anarki. Sikap sebagian muslim
seperti ini yang diidentifikasikan sebagai
Aliran Radikal. Gerakan Islam Radikal ini berkembang dinamis dan mampu
menempatkan diri ditatanan sosial karena mendapatkan hak atas kebebasan
berekspresi dan berpendapat yang diatur dalam konstitusi Negara. Akibatnya,
agama Islam yang berpredikat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam terasa
semakin lebur ditatanan sosial. Adapun aksi-aksi anarki yang berpotensi meleburkan
predikat Islam sebagai rahmat bagi manusia ditatanan sosial dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
pertama. Konstelasi
politik tanah air yang semakin kurang kondusif akibat tajamnya perbedaan
pendapat diantara masyarakat mayoritas beragama Islam yang saling membelah
opini publik lalu berakhir demonstrasi dimomentum hajatan politik sehingga
cukup memberikan pintu masuk bagi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki
agenda lain untuk menjalankan kepentingan politik dan ambisi pribadinya.
Bagaimana tidak, agama islam sangat rentan ditunggangi kepentingan propaganda-propaganda
bernuansa politik dalam mewarnai setiap himbauan bagi umat muslim untuk ikut bergerak
melakukan demonstrasi. Dengan kata lain, agama Islam dijadikan alat paling
ampuh oleh kalangan penguasa untuk memperlancar urusan politik dengan cara
mematahkan aksi politik kaum minoritas. Contoh kasus yang sering ditemukan
adalah ketika Indonesia dihebohkan dengan urusan pilkada, berbagai ayat qur’an
pun dimunculkan untuk mendukung atau menolak calon. Akhirnya terlihat jelas
martabat agama dan kitab suci dimanfaatkan dengan harga dan cara yang sangat
murah dan vulgar demi kepentingan segelintir penguasa. Hal ini menandakan bahwa
Bukan agama yang membimbing bagaimana berpolitik yang anggun dan terhormat, melainkan
agama dibajak dan dijadikan jampi-jampi politik.
Pernyataan itulah yang dikwatirkan Presiden Indonesia, (Joko
Widodo, 2017), Jangan sampai agama dijadikan komoditas politik.
maksud pernyataan itu bukan berarti memisahkan secara tegas antara agama dengan
politik. Kedua ranah itu harus tersambung dalam kontek yang benar. Beliau
menyontohkan bagaimana saat membuat kebijakan harus berlandaskan nilai agama.
Melihat kondisi yang demikian itu, sangat berbeda dengan sejarah
peradaban Negara Madinah yang digagas oleh Nabi Muhamad yakni agama Islam
dijadikan wadah pemersatu untuk memperlancar dakwah sekaligus memposisikan agama
Islam sebagai cerminan politik damai antar sesama bukan sebagai alat pemicu
kebencian. Beliau (Nabi Muhamad) membangun Negara Madinah merupakan terobosan
jitu dalam mempersatukan peperangan antar suku dengan menjunjung tinggi asas
musyawarah mufakat, damai, adil dan bijaksana sebagai cerminan nilai politik
Islam.
Kedua, mayoritas
pemeluk agama Islam gampang diprovokasi baik dari kalangan awam maupun kalangan
pelajar. Betapa mudahnya digiring untuk membenci, mengolok-olok, dan bahkan
menyerang umat tertentu, ormas tertentu, pengajian tertentu, sekte tertentu,
dan seterusnya atas argumen membela Islam, Tuhan, Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan
sahabat, atau yang lain yang dianggap sebagai simbol identitas Islam. Misalnya
adanya demonstrasi atas nama Islam sebagai penghakim kaum minoritas (yang belum
tentu murni keberarannya) dengan estimasi ribuan massa dalam menghadapi isu
bernuansa politik yang ternyata masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Yang demikian itu mencerminkan kurangnya ketabahan dan kajian yang mendalam
tentang pergeseran dinamika sosial sehingga gampang terprovokasi. Hal tersebut
sangat bertolak belakang dengan perilaku santun sebagai cermin ajaran Agama
Islam yang dicontohkan Nabi Muhamad ketika diwarnai hujatan dari kaum yang
tidak sependapat dengannya. Islam selalu mengajarkan kedamaian kepada semua
manusia sehingga Islam membenci peperangan. Peperangan ditempuh bertujuan
memertahankan diri dan demi menjaga akhidah.
Ketiga, Saling
mengkafirkan antara sesama Muslim. Kondisi umat Islam saat ini ternyata sudah
dinubuatkan oleh Nabi muhamad sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut Hadist
Tirmidzi Nomor 171, Nabi s.a.w diriwayatkan telah bersabda, “Umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan mereka semua akan berada di
neraka kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya “Ya Rasulullah, golongan
manakah yang akan selamat? Kemudian beliau pun menjawab, “Ia adalah golonganku
dan sahabat-sahabatku.”
Terpecah belahnya umat musim saat ini sedang marak terjadi di Dunia
khususnya di Indonesia sebagai Negara berbasis Islam. Kehidupan umat Muslim
Indonesia saat ini mulai dikotak kotaki. Kaum Muslim yang pemahaman dan
pengetahuannya terbatas biasanya hanya bisa pasrah mengikuti panutannya tanpa
melihat ajaran yang diikuti secara rasional menurut ajaran Quran dan hadist.
Sedangkan umat lain yang berpendidikan kritis, selalu mencari kebenaran sesuai
dengan rasionalitasnya. Sebagian
kelompok lain mengaku yang dipercaya adalah yang paling benar dan lainnya
mengkafirkan yang lainnya.
Kerap kita temukan adalah tuduhan yang dilontarkan oleh kalangan
tertentu umat Islam terhadap umat Islam
lainnya dalam menyikapi perbedaan pendapat masalah furu’ yang berakhir
dengan tuduhan sesat, ahli bid’ah, musyrik, dan kafir karena
tidak sesuai dengan paham dan ideologi Islam yang dianutnya. Seperti perbedaan
pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul
membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a
sambil tawassul kepada Nabi dan para waliyyullah/sholihin,
mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin (kelahiran) Nabi Muhamad,
pembacaan Istighotsah, dan sebagainya sehingga membuat kelompok yang
dicela merasa tersinggung dan marah karena merasa telah berusaha menjadi muslim
yang baik dengan melaksanakan perintah syariah dan menjauhi laranganNya.
Dari sudut pandang syariah pun, sikap mencela dan menyakiti sesama
muslim tidak dibenarkan.
Nabi bersabda: “Seorang
muslim (yang baik) adalah yang muslim lain selamat dari (gangguan) lisan dan
tangannya”. Dikesempatan lain, Nabi bersabda: “Seorang mukmin bukanlah
orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang
keji (buruk akhlaknya), dan bukan orang yang jorok omongannya”. Termasuk
menyakiti sesama muslim adalah membicarakan keburukannya walaupun itu fakta.
Jika ditelusuri adanya pendikotomian tersebut, sebagian besar
berawal dari pengaruh penyalahgunaan pemahaman atas ajaran Islam yang
dipahaminya sesuai para Salaf Sholeh
siapa yang dianutnya. Padahal yang demikian itu harusnya dijadikan kekayaan
pengetahuan bukan diperdebatkan mengenai perbedaannya. Kita sebagai pengikut
ajaran Nabi Muhamad, jika terdapat perbedaan pendapat maka dianjurkan untuk
mengambil jalan tengah dari segala perbedaannya.
Karena kebebasan persepsi manusia itu terbatas dan bersifat relatif
maka sangat keliru jika ada yang mengklain bahwa pemahamannya terhadap ajaran
islam yang paling benar lalu yang lain salah.
Itulah tiga faktor yang dirasakan dan membuat dilema ketika membaca
gejolak politik islam dan problem internal Islam masa kini yang dikwatirkan
akan merambat kepada masalah-masalah lain yang tentunya lebih serius. Maka perlu adanya pengawalan yang serius dari
pihak-pihak pemangku kebijakan yang mempunyai otoritas penuh agar nantinya
melahirkan suatu tatanan sosial yang kondusif.
Secara garis besar, Politik dan Agama tidak dapat dipisahkan.
Perpaduan keduanya merupakan konsep yang menyeluruh, komprehensif, integral dan
bukan hanya masalah kekuasaan belaka. Islam memandang politik sebagai suatu cara
dan bukan tujuan. Konsep ini didasari oleh akidah yang kokoh dengan berpegang
pada manhaj yang pernah ditempuh oleh Rasul, shahabat, dan para tabi’in.
Artinya berpolitik adalah suatu cara dalam melakukan dakwah dengan penuh damai.
Dalam Alquran, Allah memberikan tuntunan berdakwah atau berkampanye program
kebaikan dengan tiga cara, yakni bil hikmah, mau’izhotil hasanah wa
jaadilhum billati hiya ahsan.
Sebagai saran, marilah menyikapi segala sesuatu dengan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan disini adalah hasil perpaduan antara akal sebagai otoritas
individu manusia dan wahyu sebagai otoritas Allah. Sehingga nantinya tidak
gampang terprovokasi. Mengenai akal dan wahyu, perlu adanya usaha-usaha
konkret dari pemerintah terkait, untuk melendingkan konspep pendidikan Agama Islam
dan politik yang ideal dengan cara mengubah cara pandang generasi terhadap
Islam yakni selain melihat Islam sebagai barisan sejarah yang pernah mencetak
peradaban, agama Islam juga harus ditela’ah secara substansi yang nantinya
melahirkan nilai moderat (tawassuth), toleransi (tasamuh, keseimbangan
(tawazun), dan keadilan (ta’adul) sebagai usaha menempatkan kembali
predikat islam sebagai petunjuk harmoni politk dalam keragaman hidup berbangsa
dan bernegara.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Qs. Ali Imran:103)
Pada ayat ini setidaknya memberikan dua penegasan terhadap umat
manusia yakni: Selain mengatakan “berpeganglah kamu semuanya kepada tali
Allah” dan “janganlah kamu bercerai-berai”. Ayat ini sebagai
rambu-rambu agar ketika kita dihadapi berbagai masalah diinternal (dalam)
islam, jangan sampai berakhir dengan saling menghujat, saling mengklaim
kebenaran, dan seterusnya. Karena yang demikian itu merupakan faktor-faktor
pemicuh perpecahan antara kelompok muslim dengan muslim yang lainnya.
Perbedaan pendapat antara kaum muslim memang selalu ada, tetapi
bukan untuk dipertajam dengan saling menyesatkan dan mengkafirkan satu sama
lain. Pokok perbedaan pendapat ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama
yang mempunyai otoritas. Hal ini sesuai dengan perintah al’quran kepada umat Islam
agar berfikir dan berdebat dalam perbedaan dengan hikmah (kebijaksanaan)
dan nasihat yang baik (mau'idzah hasanah).
Islam menjunjung tinggi pluralisme karena Islam mengakui keberadaan
semua bangsa, mengakui seluruh lapisan masyarakat, dan Islam juga mengakui
semua agama. Dengan adanya kesadaran untuk menghargai pluralisme merupakan
bukti bahwa Islam membawa rahmat bagi seluruh alam.
Sumber:
0 Response to "AKSI REPRESIF ISLAM RADIKALISME BERPOTENSI MELEBURKAN PREDIKAT ISLAM RAHMAT BAGI ALAM"
Post a Comment