Hidup ini memang penuh liku-liku. Itulah kata-kata yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata itu terlontar tatkala seseorang merasa bahwa betapa susahnya menjalani hidup dan betapa jauhnya perjalanan hidup ini hingga susah untuk membayangkan bagaimana akhir dari cerita hidup ini.
Perjalan hidup manusia ini memang berbeda-beda. Ada yang hidup hanya sebatas mencari makan untuk bertahan hidup, ada juga yang dalam perjalanan hidupnya ia lebih memprioritaskan apa yang dicita-citakannya. Seseorang yang memiliki cita-cita alakadarnya (terserahlah mau jadi apa) kebanyakan hanya melalui kehidupan di tempat dimana ia dilahirkan. Namun mereka yang memiliki cita-cita tinggi pada umumnya mendapatkan berbagai macam cobaan/ rintangan dan kebanyakan hidup mereka dilalui dengan merantau ke negeri orang demi meraih cita-citanya.
Hidup di negeri rantau memang tak semudah yang di bayangkan bagi yang sampai saat ini belum merantau ke negeri orang karena sangatlah jauh beda antara hidup dirantau orang dengan orang yang hidup bersama keluarga ditanah kelahirannya. Terpisah dengan keluarga terutama ayah dan ibu bukan hal yang menyenangkan dan setiap orang tidak akan pernah menginginkan hal itu terjadi. Namun tujuan merantau tiada lain dan tiada bukan adalah untuk membuat orangtua bahagia demi berbakti kepada keduanya. Apapun tujuannya, entah merantau untuk kerja ataupun menuntut ilmu. Semua itu tidak lepas dari keinginan untuk membahagiakan orangtua.
Ketika orangtua yang anaknya diberi tanggungjawab untuk hidup mandiri dirantau orang, orangtua terkadang merasa bersalah dan merasa tidak bertanggungjawab karena keadaan anaknya begitu jauh dalam pantauan penglihatannya. Ketika anaknya sudah dinegeri seberang, terkadang ia meresa tak punya siapa-siapa dan tak punya apa-apa selain teman sebagai keluarga kecil dan senyum sebagai apa yang ia punya. Hidup sendiri bukan hal yang baru bagi anak perantau dan tak punya apa-apa bukan hal yang dipersoalkan. Ketika orang tidak menyapa karena berfikir kita orang asing, itu sudah biasa. Kurang makan dan minum bukanlah hal yang asing bagi anak perantau karena itu sudah menjadi menu utamanya. Tidak sedikit juga tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar yang kadang sering menghantui mereka namun demi cita-cita, apapun rintangan dan cobaan, tidak akan menjadi penghambat yang berarti bagi anak perantau yang sungguh-sungguh ingin sukses dimata keluarga, masyarakat dan negaranya.
Sukses bagi diri sendiri dan oranglain, itulah yang diinginkan orangtua yang tengah bekerja keras untuk membiaya anak-anaknya yang sedang menuntut ilmu.
Hebatnya anak perantau adalah selalu punya tekad yang kuat dan siap bekerja keras untuk menemukan jati diri yang sebenarnya walau jauh dari dukungan moral orangtua.
Walau terkadang hati menangis karena nasib, namun sebenarnya tangisan hanya membuat kita lemah. Namun juga tangisan bisa hadir sebagai ungkapan suara hati.
Itulah yang saya alami dan sebagai pengalaman berharga sejak awal merantau ke negeri orang sampai saat menulis cerita inipun saya masih merantau.
Asal saya dari Alor NTT (Nusa Tenggara Timur). Sejak lulus dibangku SD ditanah kelahiran, saya terpaksa merantau karena itulah keputusan orangtua dengan alasan saya harus merantau untuk belajar ilmu agama. Seminggu dalam perjalanan dari daerah timur ke tanah jawa. Sesampainya saya ditanah jawa (daerah bandung) saya disekolahkan di MTs Ibnu Abbas Cileunyi. Namun hal itu berjalan tidak sesuai dengan rencana, kurang lebih empat minggu saya diberangkatkan ke pesantren Al-imam sukabumi jawa barat karena tidak bisa melunasi administrasi/ pembayaran di sekolah MTs Ibnu Abbas. Di sukabumilah tempat saya melanjutkan sekolah MTs dan juga sebagai tempat pertama saya bekerja sampingan di pabrib pupuk untuk bertahan hidup. Betapapun perihnya perjalanan masa hidup di waktu MTs, namun tetap bertahan hingga lulus. Setelah lulus MTs, saya beranggapan besar bahwa tidak bisa lanjut ke bangku SMA karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah. Namun tuhan menghendaki beda, saya mendapat bantuan dari sebagian besar keluarga ditanah kelahiran saya untuk melanjukan sekolah SMK yapinda di tasikmalaya jawa barat. Setelah lulus di SMK, cobaan kembali datang menghampiri saya. Hal ini dibuktikan setelah lulus di bangku SMK dan terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan di bekasi selama satu tahun karena tidak cukupnya biaya dari keluarga untuk saya lanjut belajar di perguruan tinggi. Hanya bekerja dan berdo’a serta senantiasa mengharap keajaiban dari Tuhan, saya pun bisa lanjut belajar ke bangku perguruan tinggi universitas islam nusantara (uninus) bandung hingga sekarang.
Itulah sekilas perjalanan hidup saya.
Tetap semangat.
Terima kasih
0 Response to "Cerita Anak Rantau"
Post a Comment